Kupang, Savanaparadise.com,- Penggerusan Nilai-nilai luhur bangsa dan semangat kebangsaan melemahkan kesadaran masyarakat untuk membangun bangsa. Sebagai bagian integral, elemen masyarakat perlu terlibat aktif menegakkan masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Bahwa keberagaman dalam bingkai Indonesia adalah takdir yang tidak dapat dihindari, oleh karena bersifat kodrati. Hal yang perlu mendapat sentuhan negara dan seluruh tenaga pembentuknya adalah membangun kembali kesadaran kolektif kita untuk mulai bergerak secara masif sebagai sebuah kesatuan, bergerak terarah dan tidak parsial.
Demikian disampaikan Ketua Umum, Lembaga Swadaya Msayarakat(LSM) Demokrasi Sosial, Aulora Agrava Modok, dalam seminar Publik, Jumad, 16/10, dikupang. Seminar yang yang mengambil thema” Perkuat Rakyat, Bangsa Kuat” ini merupakan kerjasama Demsos dan Kementerian Dalam Negeri.Seminar ini dihadiri oleh Civitas Akademika dari berbagai kampus di Kota Kupang, Organisasi kepemudaan dan Organisasi keagamaan.
Menurut Aulora, tidak semua negara di dunia diperlengkapi dengan latar sejarah dan budaya yang beragam seperti Indonesia. Keberagaman tersebut kata Aulora, mesti melekatkan tanggung jawab kita untuk terus memaknai sebagai jalan pengabdian dalam menciptakan tatanan kehidupan bernegara yang menjamin keberlangsungan kehidupan multikultural. Ini pula yang menjadi kekuatan kita, untuk sekali lagi menunjukkan kepada dunia bahwa jargon-jargon Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity, El Pluribus Unum, benar-benar bisa menjadi kenyataan, bukan sekadar utopi.
” Bangsa ini memerlukan rakyat yang sadar akan takdir sebagai kesatuan masyarakat plural dalam segala segi latar belakangnya, baik itu kultural, etnik, maupun fisik. Tugas luhur ini tentu bukan sekadar menjadi tanggung jawab pemerintah. Diperlukan kerjasama kesinambungan antara seluruh kekuatan nasional,” Ujar Aulora.
Aulora Mengatakan Perbaikan manusia Indonesia membutuhkan waktu dan metode tepat. Jelas, karena selama ini telah terjadi pelemahan terhadap nilai-nilai luhur bangsa. Kemajuan teknologi yang begitu pesat belum diimbangi dengan kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk menyeleksi mana yang baik.
” Kemudian, yang terjadi adalah arus globalisasi yang deras menghantam masyarakat. Standar budaya ketimuran kita yang mencirikan kolektifitas dan gotong royong diguncang bahkan diterobos dengan budaya konsumtif dan hedonis melalui penetrasi aliran informasi lintas benua yang begitu cepat,” Jelasnya.
Gusti Beribe yang merupakan salah satu pemateri, dalam paparannya mengatakan ketika otonomi daerah mulai diberlakukan, kita telah menatap feodalisme pemerintah daerah dimana-mana. menurutnya banyak perda yang menguras rakyat dan mengekploitasi Sumber daya alam. dikatakannya fenomena ini jauh dari kemauan untuk menciptakan keadilan sosial dan penghargaan terhadap perikemanusian masyarakat maupun komunitas sosial.
” inilah soal deviasi wawasan kebangsaan yang direduksi oleh nafsu kekuasaan baik pejabat birokrasi maupun pejabat politikdi daerah,” kata Beribe yang juga Ketua Fraksi PDIP DPRD NTT.(SP)