Jakarta, Savanaparadise.com,- World AMR Awareness Week (WAAW) atau pekan kesadaran Antimicrobial Resistance (AMR) yang ditandai dengan kolaborasi multi stakeholders menjadi momentum penting bagi masyarakat dunia agar memiliki kesadaran tentang bahaya resistansi antimikroba. Salah satu upaya untuk memitigasi AMR adalah melalui edukasi publik.1 Pfizer Indonesia sebagai perusahaan biofarmasi inovatif, mendukung pentingnya kesadaran AMR ini melalui webinar “Memitigasi Risiko AMR di ICU melalui Komunikasi yang Optimal antara Nakes dan Keluarga Pasien: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna” pada Rabu, 29 November 2023.
AMR adalah suatu kondisi di mana mikroba penyebab infeksi pada tubuh pasien sulit untuk dilawan oleh obat antibiotik, antivirus atau antijamur; dan akhirnya menyebabkan pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama. Masalah ini adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang serius, dimana WHO telah memperkirakan akan terjadi 10 juta kematian pada tahun 2050 karena peningkatan kasus AMR.2 “Sejalan dengan tema World AMR Awareness Week tahun ini ‘Preventing Antimicrobial Resistance
Together’, Pfizer Indonesia bekerjasama dengan Indonesia One Health University Network (INDOHUN), serta pakar kesehatan dan komunitas pasien, menyosialisasikan gerakan #JitudiICU untuk mendorong penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional di unit perawatan intensif (ICU). Kami harap gerakan ini dapat meningkatkan kesadaran publik dan para pemangku kepentingan terkait untuk menekan risiko terjadinya AMR.” ungkap Nora T. Siagian, Presiden Direktur Pfizer Indonesia pada acara webinar.
Lebih lanjut, Nora menjelaskan peningkatan pemahaman mengenai risiko terjadinya AMR dapat tercapai melalui komunikasi dua arah yang produktif antara tenaga kesehatan dengan pasien atau keluarganya. Ketika terdapat keluarga atau kerabat yang harus dirawat di ICU, seringkali keluarga pasien merasa bingung, takut, dan panik. Akibatnya, mereka sangat mengandalkan petugas kesehatan untuk memberikan solusi. Padahal, komunikasi dua arah diperlukan agar kedua pihak memiliki tingkat pemahaman yang sama tentang kondisi pasien dan berorientasi pada peningkatan kualitas perawatan pasien,3 termasuk dengan meminimalkan risiko terjadinya AMR di ICU.
ICU merupakan salah satu tempat dimana pasien menerima antibiotik sebagai salah satu terapi utama untuk menyembuhkan infeksi 4 Untuk itu, penggunaan antibiotik secara bijak dan rasional sangat penting untuk dipahami. Salah satu upaya untuk mendorong pengobatan yang jitu di ICU adalah dengan menciptakan kesempatan komunikasi yang produktif antara pasien dengan tenaga kesehatan yang bertugas. Namun banyak dari masyarakat yang ragu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.
Sarwendah, seorang artis dan juga ibu rumah tangga memiliki perhatian khusus pada pola komunikasi yang jelas dan berkesinambungan antara pasien dan dokter. Ia meyakini komunikasi adalah kunci untuk kesembuhan pasien. Hal ini dirasakan langsung saat ia merawat suaminya, Ruben Onsu. “Ketika suami saya dirawat di ICU, saya berkomunikasi intens dengan dokter untuk mengetahui perkembangannya, serta memahami obat-obatan yang diberikan. Jangan sampai, kita tidak mengetahui perawatan yang diberikan pada anggota keluarga sendiri, terlebih lagi tentang penggunaan antibiotik,” ujarnya pada acara webinar.
“Dokter membantu saya memahami tentang penggunaan antibiotik yang tepat, agar pasien bisa sembuh dan tidak terkena AMR. Pengetahuan tentang AMR sangat penting karena berdampak pada perawatan kesehatan jangka panjang pasien. Saya ingin agar pengalaman saya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk memahami dampak AMR dan cara mencegahnya,” tambahnya.
Dalam acara ini, Sarwendah menyampaikan 4 (empat) tips berkomunikasi yang efektif untuk menghindari AMR di ICU yang dapat dilakukan pasien atau keluarganya ketika berdiskusi dengan tenaga kesehatan:
1. Buka percakapan setelah tindakan darurat usai Ketika pasien baru masuk ke ICU, prioritas tenaga kesehatan adalah menstabilkan kondisi dan menyelamatkan nyawa pasien.5 Oleh karena itu, bisa terkesan tenaga kesehatan belum menyediakan waktu untuk melayani keluarga pasien untuk berdiskusi. Pada kondisi ini, sebaiknya keluarga pasien memberikan waktu dan ruang bagi tenaga kesehatan untuk bekerja.
Setelah tindakan darurat selesai dan kondisi pasien cenderung stabil, keluarga pasien bisa mulai bertanya kepada tenaga kesehatan terkait tentang kondisi terkini dan semua tindakan yang baru saja dilakukan terhadap pasien. Keluarga juga bisa bertanya tentang pengobatan yang akan diberikan selanjutnya, terutama pemberian antibiotik empirik pada awal masa perawatan.
Memberikan perhatian khusus pada kualitas komunikasi dengan pasien, terutama di lingkungan ICU di mana perawatan seringkali kritis dan kompleks.
“Ini bukan hanya tentang memberikan informasi saja, tetapi juga tentang mendengarkan. Pasien di ICU sering kali dalam kondisi yang memerlukan pemahaman dan kehadiran ekstra dari tim perawatan.” pungkasnya.
Melalui komunikasi yang efektif antara pasien dan tenaga kesehatan maka akan berkontribusi pada tindakan medis yang tepat waktu (right time), tepat pasien (the right patient condition), dan tepat guna (the right use) sesuai semangat gerakan edukatif #JitudiICU.(SP)