Kupang, Savanaparadise.com,- Dinas pendidikan NTT membatasi maksimal rombongan belajar (Rombel) penerimaan siswa baru untuk sebuah lembaga pendidikan SMA dan SMK. Hal ini bermaksud tidak terjadi penumpukan siswa pada sekolah tertentu dan sekolah lainnya mengalami kekurangan siswa.
Kepala Dinas Pendidikan NTT, Piter Manuk mengatakan salah satu persoalan yang dihadapi sekolah- sekolah saat penerimaan siswa pada awal tahun pelajaran adalah penyebaran siswa yang tidak merata. Dimana sejumlah sekolah yang dinilai lebih favorit, jumlah siswanya membludak hingga melampaui jumlah rombel.
Akibatnya, ruang perpustakaan dan laboratorium difungsikan menjadi rombel. Kebijakan yang diambil tersebut tentunya merugikan sekolah dan para siswa karena tidak lagi memiliki ruangan perpustakaan atau laboratorium yang memadai.
Sementara di sisi lain, lanjut Piter, sejumlah sekolah yang dinilai tidak favorit, baik sekolah swasta maupun negeri, sangat kekurangan siswa. Padahal kualitas guru yang mengajar di sekolah- sekolah tersebut tidak kalah dengan sekolah- sekolah yang dinilai lebih favorit.
“Menyikapi persoalan itu, kita sudah keluarkan petunjuk teknis (Juknis) untuk membatasi jumlah rombel, maksimal 12 rombel untuk SMA dan 20 rombel untuk SMK dengan jumlah maksimal siswa setiap rombel 36 orang,” kata Piter, Selasa, 20/06.
Dengan pembatasan rombel, lanjut mantan Penjabat Bupati Lembata ini, maka ada sejumlah sekolah yang selama ini menerima siswa baru melampaui jumlah rombel, tidak terjadi lagi. Dampak lainnya, akan ada begitu banyak calon siswa yang tidak bisa tertampung di sekolah tersebut. Untuk hal ini, perlu kesiapan sekolah-sekolah swasta terutama menyiapkan sarana belajar yang memadai. Dengan demikian, tidak terjadi kekurangan siswa di sekolah swasta tersebut.
“Kita tegaskan, tidak boleh pakai fasilitas lain seperti laboratorium aula untuk dijadikan sebagai ruang kelas,” tandas Piter.
Tentang zonasi penerimaan siswa baru, Piter menyatakan, sebenarnya sudah terimplisit dalam juknis yang telah dikeluarkan tentang penerimaan siswa baru. Memang dalam konteks zonasi, sebenarnya lebih mengarah pada jarak antara sekolah dan pemukiman penduduk. Dimana tiga kilometer untuk SD, enam kilometer untuk SMP dan 12 kilometer untuk SMA/SMK. Idealnya, setiap kecamatan minimal ada satu SMA atau SMK. Namun hal ini sangat bergantung pada sekolah pendukung di kecamatan tersebut.
“Intinya, kebijakan soal zonasi ini lebih mengatur pada aspek penerimaan siswa baru agar tidak terjadi penumpukan siswa pada sekolah tertentu,” ungkap Piter.(SP)