Kupang, Savanaparadise.com,- Terdakwa kasus dugaan pungutan liar (pungli) di Kabupaten Flores Timur, Ramly Lamanepa, S.Sos akhirnya resmi ditahan di Ruma Tahanan (Rutan) Penfui Kupang. Ramli resmi ditahan setelah sidang keempat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tpikor) Kupang, Rabu (15/1/2014) dengan agenda mendengar putusan sela.
Sidang yang dipimpin hakim ketua I.B Dwiyantara, didampingi anggota Agus Komarudin dan Ansory Sayfudin dengan Panitra Pengganti Yohana Litbila dengan tegas menolak eksepsi penasehat hukum terdakwa Pieter Hajon SH, MH. Sebelum menyampaikan bahwa sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi, ketua majelis hakim memerintahkan untuk menahan terdakwa Ramly Lamanepa selama 20 hari kedepan.
Kuasa Hukum Ramly Lamanepa, Pieter Hadjon SH, MH usai sidang mengatakan, jauh sebelumnya ia telah mempredikskan bahwa keberatan yang diajukan akan ditolak majelis hakim karena keberatan yang diajukan telah menyentuh materi pokok perkara. “Kami menyadarai bahwa uraian tentang keberatan atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, telah menyentuh materi pokok perkara.
Hal itu kami lakukan agar dapat dijadikan sebagai pembuka tabir permasalahan kasus yang tertuang dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum agar diketahui sejak awal tentang obyelktifitas dan profesionalisme Jaksa Penuntut Umum dalam menysusun surat dakwaan,” katanya.
Ia menambahakan, sasarannya mengajukan keberatan buka agar keberatan diterima dan perkara dihentikan, melainkan keberatan itu merupakan cikal bakal pembelaan yang tentunya akan dikaitan dengan fakta yang akan terungkap di persidangan.
“Apabila keberatan penasehata hukum diterima karena dakwaan JPU kabur, tidak akan menyelesaikan perkara karena cacat formal atau cacat prosedur dapat diulang kembali yakni dakwaan yang kabur dapat diperbaiki dan diajukan kembali ke pengadilan. Dengan demikian proses persidangan akan tetap dilanjutkan.
Sasaran utama kami adalah terdakwa harus diputus bebas oleh pengadilan karena dakwaan JPU tidak memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan,” katanya.
Pieter Hadjon menambahkan, berdasarkan yurisprudensinya, MA dalam tanggal 17 Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Ia menambahkan, sejak MA mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang material (materiele wederrechtelijkheid) sebagai alasan pembenaran.
Hadjon menjelaskan, kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah, suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagai misalnya tiga faktor diantaranya, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa tidak mendapatkan uang.
“Dalam perkara ini, negara tidak dirugikan, dan terdakwa tidak memeproleh keuntungan apapun karena dana yang dikumpulkan dari para Kepala Desa disimpan pada Kasubag Keuangan, serta sudah dikembalikan. Selain itu kepentingan umum terlayani, karena yang diajukan permohonan untuk memeproleh dana bantuan pusat adalah seluruh Kepala Desa di Kabupaten Flores Timur baik yang menyerahkan dana partisipatif maupun yang tidak menyerahkan,” ujar Pieter Hadjon.(Laurens Leba Tukan)