Jakarta, Savanaparadise.com,- Konflik agraria di Indonesia tahun 2023 telah menyebabkan 241 letusan konflik, yang merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 KK. Sebanyak 110 letusan konflik telah mengorbankan 608 pejuang hak atas tanah, sebagai akibat pendekatan represif di wilayah konflik agraria. Angka ini berada pada urutan teratas dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal.
“Angka di Indonesia mencapai 74% dari total insiden, 94% dari total korban individu dan 84% dari total rumah tangga yang terdampak, jika dibandingkan antara keenam negara tersebut,” kata Marianne Jane Naungayan dari Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development dalam workshop regional tentang upaya monitoring konflik tanah di Jakarta (26-27/02).
Marianne mengingatkan, bahwa banyak konflik agraria yang tidak terdokumentasi atau dilaporkan sehingga datanya lebih bersifat indikatif. Angka ini belum mencakup penderitaan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak sebagai dampak lanjutan dari pelanggaran yang terjadi, seperti penggusuran, pengrusakan terhadap rumah, pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.
“Dari 654 pejuang hak atas tanah yang sekaligus menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), ada 515 individu yang ditangkap atau dikriminalisasi, kebanyakan di Indonesia. Juga ada 92 yang dianiaya (terutama di Indonesia dan Nepal), 15 yang mengalami serangan fisik, diantaranya tertembak (Bangladesh dan Indonesia), 12 tewas (Filipina dan Indonesia),” katanya.
Dari sisi pelaku penggusuran yang menambah catatan pelanggaran HAM, tertinggi ditempati oleh aparat negara yang bersenjata (73%) dan aparat keamanan dari korporasi (11%). Sisanya dilakukan oleh penyerang tak dikenal, pemerintah daerah dan lainnya.
Menurut data komparasi keenam negara tersebut, sepanjang tahun 2023, ada 690 kasus konflik agraria di keenam negara. Konflik tersebut mencakup 1,87 juta hektar tanah yang masih berjalan dan mencakup hampir setengah juta rumah tangga, yang meliputi sekitar 2,2 juta orang.
Dari sisi luas, yang terbesar terjadi di Filipina dengan lebih dari 1 juta hektar tanah berada dalam konflik, kebanyakan meliputi tanah masyarakat adat. Sedangkan dari sisi rumah tangga, yang paling banyak terdampak adalah India (162 ribu keluarga) dan Indonesia (135 ribu keluarga).
Secara mayoritas, letusan konflik agraria yang terjadi merupakan konflik yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun, terutama di Indonesia dan India. Padahal lebih dari seperempatnya memiliki status tidak diketahui. Di sisi lain, ada 17% dari semua kasus yang usianya kurang dari dua tahun, yang artinya terjadi peningkatan rata-rata jumlah kasus baru-baru ini.
Lebih dari separuh (58%) mencakup tanah masyarakat adat, terutama di Bangladesh, India dan Filipina. Juga, kasus-kasus yang melibatkan petani gurem -penguasaan di bawah 0,5 ha- (14%) dan pemilik lahan hutan kecil (12%). Korban terdampak dalam konflik adalah kelompok petani, masyarakat adat dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan.
Dari sisi pemangku kepentingan yang paling banyak menjadi penyebab letusan konflik agraria adalah korporasi (36%), pemerintah (29%) atau individu penguasa yang kuat (15%).
Program pemerintah/program pembangunan menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi kedua, diantaranya infrastruktur umum, termasuk jalan, jembatan, bandara atau pelabuhan.
“Dari total 178 letusan konflik akibat program pemerintah, 90 persen disumbang oleh Indonesia, termasuk letusan akibat Ibu Kota Nusantara (IKN) yang juga menyumbang luasan terbanyak,” sebut Marianne.
Dari kategori perusahaan yang terlibat dalam konflik tanah, yang tertinggi adalah kategori agribisnis dan perkebunan, pertambangan dan properti. “Walaupun perusahaan industri kayu hanya 5%, tapi dari sisi luasan menempati hampir separuh (48%) dari area konflik,” kata Marianne.
Tingginya konflik agraria Indonesia di enam negara tersebut juga linier dengan tingginya aduan masyarakat tentang konflik pertanahan yang masuk ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terima sepanjang tahun lalu.
Menurut Atnike Sigiro, Ketua Komnas HAM, meningkatnya tren konflik agraria ini telah menjadi perhatian khusus. “Isu agraria menjadi masalah yang paling banyak masyarakat konsultasikan di tahun 2023,” katanya.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutip data Catatan Akhir Tahun KPA tahun 2023 yang menilik konflik agraria di era Jokowi lebih tinggi (2939 kasus) dibanding era SBY (1354 kasus).
“Kita bisa lihat bahwa masyarakat sipil di berbagai negara menghadapi situasi yang sama, walau berbeda konteks. Pelaku utama dari konflik ini adalah pemerintah pusat dan aparat hukum seperti polisi, militer,” katanya.
Workshop regional ini memetakan konflik agraria terstruktur untuk melihat isu sosial di baliknya dan kaitannya dengan aturan hukum, regulasi dan prioritas pembangunan. Metode yang digunakan adalah pendekatan kasus dari perspektif komunitas dan membedah informasi dasar konflik, hubungan para pemangku kepentingan, insiden peristiwa di lokasi dan respon dari masyarakat atas konflik tersebut.
“Dengan memonitor secara berkala hari ke hari, tahun ke tahun, kita mendorong perlunya reforma agraria secara menyeluruh dan pengakuan bagi hak-hak petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan di semua negara. Dengan berbagi informasi monitoring secara berkala, kami berharap agenda reforma agraria bisa menjadi aksi kolektif bagi masyarakat sipil bersama Komnas HAM, Ombudsman dan parlemen,” katanya.(SP)