Kupang, Savanaparadise.com,- Menjelang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur yang akan digelar 18 Maret 2013 mendatang, wacana tolak tambang juga menjadi alat kampanye para calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Hampir semua calon sepakat memiliki sikap politik menolak pertambangan di NTT.
Namun sikap tersebut ditanggapi pesimistis oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT yang menilai hal itu sekadar mencari simpati rakyat dalam meraih suara.
Direktur Walhi NTT, Heribertus Naif dalam rilisnya, sabtu (26/1/2013) malam kepada savanaparadise.com, mengatakan wacana dan pernyataan penolakan tambang semestinya juga didasarkan pada political will akan penyelamatan lingkungan ekologi.
“Kekhawatirannya, wacana itu hanya dibangun sebagai upaya untuk meraup suara, khususnya dari kelompok yang selama ini selalu getol menolak tambang. Karena itu kami dari Walhi NTT ingin mengarisbawahi beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai wujud restorasi ekologi, yang mana menjadikan pengelolaan sumber daya alam yang humanis,” jelas Heribertus.
Heribertus menambahkan, sikap politik yang menolak pertambangan dari para calon mestinya dilandasi pada beberapa alasan mendasar dan dibutuhkan solusi atau alternatif yang kuat dan riil. Untuk itu, dibutuhkan penggalian potensi unggulan NTT, selain pertambangan mineral, dalam meningkatkan pendapatan rakyat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di NTT.
Menurutnya, sikap politik ini tentunya didasarkan pada beberapa landasan hukum seperti Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan; Undang-Undang Nomor 4 tahun 2008 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta aturan lainnya.
“Prinsipnya bagaimana ada upaya harmonisasi hukum agar tidak adanya diskriminasi hukum. Sebab undang-undang tersebut tidak bisa dilihat secara parsial, tetapi mestinya dipandang dalam sebuah keutuhan dalam upaya penyelamatan ekologi di NTT,” tegas Heribertus.
Lebih lanjut Heribertus mengatakan, rakyat NTT mestinya dicerdaskan dengan berbagai pengetahuan tentang penyelamatan ekologi, dan bagaimana membangun sebuah pengelolaan lingkungan yang humanis-ekologis dengan pertimbangan analisis risiko bencana, tata ruang kelola dan berbagai pertimbangan lainnya demi terwujudnya keadilan ekonomi dan ekologi antargenerasi.
Karena itu, akses dan kontrol rakyat harus dipertegas dengan melakukan suatu penataan ruang yang pasti, dimana ruang perlindungan dan dimana areal kelola rakyat.
“Mendorong partisipasi rakyat dalam menunaikan penyelamatan ekologi, karena tanggung jawab ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu, bagaimana menggerakkan rakyat agar terlibat dalam program penyelamatan ekologi tersisa. Rakyat harus dijadikan sebagai subyek dalam penyelamatan ekologi di NTT,” tegas Heribertus.
Karena itu, menurut aktivis lingkungan hidup itu, sikap politik tersebut harus dilandasi pada sebuah kesepakatan hukum yang kuat agar adanya nota kesepahaman antara rakyat dan pemimpin agar wacana itu tidak kemudian dinilai sebagai pernyataan politik yang bisa diabaikan ketika sudah memimpin.(SP)