Kupang, Savanaparadise.com,-. Kejaksaan Tinggi dan Polda NTT tidak boleh diskriminatif dan harus hati-hati dalam menentukan apakah kasus hibah tanah seluas 2 Ha di Ba’a, Ibu Kota Kabupaten Rote Ndao itu termasuk delik korupsi atau bukan. Mengingat Pemda sebagai Badan Hukum Publik oleh UU memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan perbuatan perdata yang dilindungi oleh Undang-Undang.
“Karena itu kehati-hatian dalam persoala kasus dugaan korupsi kasus Hibah tanah 2 ha di Ba’a sangat penting, mengingat ikatan keperdataan antara pemberi Hibah dan penerima Hibah tidak serta merta dapat dibatalkan oleh proses pidana dalam penyidikan kasus korupsi Hibah tanah tersebut,” ujar Koordinator TPDI Petrus Selestinus kepada wartawan di Kupang, Minggu (3/8/2014).
Dikatakan Petrus, Kejaksaan sebaiknya menempuh upaya perdata untuk membatalkan Hibah atas tanah 2 ha tersebut disertai dengan tuntutan ganti rugi apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum dalam ikatan keperdataan yang merugikan keuangan Pemda Rote Ndao.
Atau pihak penerima Hibah berhak mengajukan gugatan perdata terhadap pemberi Hibah yang dalam hal ini Pemda Rote Ndao untuk menguji apakah hubungan hukum secara perdata antara pemberi Hibah dengan penerima Hibah ini sah secara prosedure dan secara substantif atau tidak.
Menurut Petrus, jika Pengadilan Perdata berdasar pemeriksaan dalam suatu gugatan memutuskan bahwa hubungan hukum dalam pemberian Hibah ini sah, maka Kejaksaan Tinggi NTT harus memikul konsekuensi akibat kesalahan atau kekeliruannya dalam menuduh Bupati, Ketua DPRD dan Sekda sebagai telah melakukan tindak pidana korupsi dalam soal Hibah ini.
“Lagi pula sangat tidak adil apabila Hibah tanah 2 ha oleh Pemda Rote Ndao kepada DPRD digeneralisir sebagai tindak pidana korupsi, karena kita tahu bahwa di NTT banyak pejabat Muspida (Hakim, Jaksa dan Polisi) menerima hadiah dari Pemda menjelang akhir masa jabatannya termasuk dalam bentuk Hibah tanah ketika hendak mengakhiri tugas/jabatannya selaku Ketua Pengadilan/Kepala Kejaksaan/Kapolres dll. yang hingga saat ini aman-aman saja tanpa dilakukan sebuah penyelidikan yang menyeluruh,” urai Petrus.
Ia juga mengatakan, DPRD diseluruh NTT sebaiknya melakukan sebuah penelitian/penyelidikan dan kajian untuk melihat apakah ini sebagai tindakan yang bersifat diskriminatif atau murni sebuah langkah pemberantasan korupsi.
TPDI, kata Petrus sangat menyangkan langkah Kejaksaan yang terlalu terburu-buru menetapkan satutus tersangka kepada pihak pemberi dan penerima Hibah tanpa melihat dan memprtimbangkan aspek hubungan keperdataan yang dilakukan oleh Badan Publik terhadap orang-orang di dalam lembaga publik secara perdata, karen itu di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tipikor menyebutkan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa salah satu unsur di dalam tindak pidana korupsi tidak terpenuhi tetapi unsur kerugian negara sudah ada, maka penyidik berwenang untuk menyerahkan kepada instansi yang dirugikan untuk menempuh upaya perdata melalui gugatan perdata.
Artinya pasal ini sangat antisipatif untuk menghindari aparat penegak hukum dalam kesalahan menghukum orang yang tidak bersalah. Selain itu, kata Petrus,Kejaksaan sebaiknya mendahulukan mengusut ada dugaan oknum-oknum Kejari/Kapolres/Ketua Pengadilan sebagai Muspida ketika mengakihiri tugas di NTT juga mendapat Hibah dan itu dibiarkan hingga sekarang,.
Mengapa ketika diberikan HIBAH kepada DPRD ko mendadak menjadi korupsi. Bisa saja Hibah itu merugikan akan tetapi apakah melawan hukum, karena Pemda adalah badan publik yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindkan keperdataan misalnya menjual aset atau menerima atau mebeli aset.
Faktor lain yang juga harus dipertimbangkan adalah jangan sampai aparat pemerintah kehilangan kreatifitas dalam membangun akibat takut dituduh dan dijadikan Tersangka korupsi. Kita dukung pemberantasan korupsi tetapi kita akan protes kalau pemberantasan korupsi itu dilakukan dengan cara yang tidak elegan sebagai bagian dari pencitraan demi sebuah sensasi semata,” kata advokad senior itu.(SP)