Kupang, Savanaparadise.com,- Jagat Indonesia bahkan internasional hampir sebulan lebih dihebohkan dengan wacana penerapan tarif masuk di Pulau Komodo dan Padar,Nusa Tenggara Timur, Indonesia senilai Rp 15.000 .000 untuk 4 orang per tahun.
Wacana penetapan tarif ini memang ramai diperbincangan jagat media sosial, counter isu dan pemberitaan nampak masif dan menyedot perhatian publik. Pun demonstrasi penolakan berjilid- jilid di Kota Labuan Bajo, Ibukota kabupaten Manggarai Barat juga sejumlah kota.
Tidak hanya itu penolakan pemberlakuan tarif masuk Pulau Komodo dan Padar ini juga mendapat atensi yang luas dari berbagai kalangan termasuk tokoh dan politisi nasional maupun daerah.
Umumnya mereka berpendapat bahwa tarif itu terlalu mahal untuk ukuran orang NTT dan juga bisa membebani wisatawan saat ingin mengunjungi Taman Nasional Komodo dan sekitarnya.
Pandangan ini didasarkan bahwa saat ini Indonesia dan Dunia mengalami resesi ekonomi yang luar biasa dan kini baru saja berangsur pulih pasca Covid-19.
Meski demikian, sejatinya rencana kenaikan tariff masuk di TN pulau komodo sudah diwacanakan sejak tahun 2020. Saat itu tiket masuk sempat hangat diperdebatkan senilai Rp 1juta per orang. Kini wacana itu menjadi nyata. Naiknya bukan Rp 1 Juta lagi tapi langsung Rp 15.000.000 per 4 orang pertahun.
Liverpool ko Mahal?
Hiruk pikuk soal pemberlakuan tarif ini kemudian makin tak terkendali meski akhirnya perlahan dimaklumi. Harusnya maksud baik gubernur untuk memberdayakan semua potensi ekonomi sosial di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Terlebih mengelola TNK yang adalah sebuah kawasan ekowisata yang eksotis dan langkah karena didalam nya ada flora fauna yang memang berkelas dunia. TNK dengan satwa langkah Varanus Komodoensis mempunya nilai jual mahal dan harusnya jadi incaran wisatawan domestic dan asing atau mancanegara.
Salah satu tokoh Manggarai Barat yang juga adalah Doktor Ekonomi Sosial Pembangunan Dr. Marius Ardu Jelamu,M,Si menilai destinasi wisata di Indonesia saat ini dipasarkan sangat murah sekali dibandingka dengan sejumlah destinasi wisata biasa-biasa saja di dunia.
“Beberapa waktu lalu, saya ke London, saya pergi kunjungi stadion Liverpool bukan untuk nonton orang main bola, tetapi untuk melihat dari dekat seperti apa model stadion itu tempat dimana bintang-bintang sepakbola dunia berlaga. Bayangkan, hanya boleh berkunjung 1 jam saja saya dan kawan-kawan harus membayar perorang Rp 52 Poundsterling atau senilai Rp1,2juta saat itu,” ujar Marius.
Ia lalu mengaku sedih ketika banyak orang memadang rendah dan “menjual” ,murah komodo yang adalah satwa langkah dan satu-satunya hewan purbakala didunia yang masih ada. Harus ada perlakuan istimewa.
Apalagi dengan komodo yang binatang purba, langkah dan satu-satunya didunia, tentu harus juga diperlakukan secara istimewa dan special. TN Komodo, tidak boleh diliat sebagai destinasi iwata biasa.
Karena ketika kita melihat komodo (varanus komodoensis,red), kita tidak hanya fokus pada binatang itu tapi dibalik itu kita bisa mengeskplorasi sejumlah hal penting; pertama, soal sejarah kepurbakalaan manusia, tumbuhan, geologi dan masih banyak pesan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari binatang langka ini.
Sama hal seperti kita di Borobudur, kita bisa bereksplorasi sejarah dahulu kala soal kerajaan-kerjaaan ada majapahit, mataram dan lain sebaginya.
Sehingga Komodo dan ekosistemnya jangan dianggap sebagai destiansi wisata biasa dan masal tapi harus jadi destiansi wisata istimewa yang mana untuk melihatnya orang membutuhkan energy, usaha, waktu, tenaga, dan biaya. Dia harus berusaha dengan berbagai cara untuk menyaksikan secara langsung dihabitatnya.
Marius juga mengatakan bahwa pemerintah tidak sedang membatasi kunjungan wisatawan ke TNK. Itu harus diluruskan karena cakupan Taman Nasional Komodo (TNK) itu luas sekali, dan beberapa pulau diantarnya seperti Rinca juga dihuni oleh ribuan ekor komodo selain di pulau komodo yang saat ini jadi zona inti konservasi. Jadi orang bisa liat komodo di pulau lain itu kalau memang tidak cukup biaya untuk ke pulau komodo.
Terobosan Cerdas Gubernur VBL
Nah secara ekonomi katanya, semua potensi itu harus dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Benar bahwa PP No.14 tahun 2016 itu wewenang pemerintah pusat menentukan tarif masuk TNK namun memasuki 2019, pemerintah provinsi NTT diberi ruang juga untuk mengelola TNK.
Ini terobosan yang perlu diapresiasi oleh seluruh masyarakat NTT atas kerja keras, kerja cerdas dan kekuatan jejaring pemrop NTT dalam hal ini Gubernur Viktor Laiskodat untuk meyakinkan pemerintah pusat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan bersama TNK.
“Saya termasuk yang ikut rapat bersama Pak Luhut Binsar Pandjaitan dan kawan-kawan di Kemenkomaritim saat itu untuk menentukan pengelolaan TNK secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah dan itu sudah disetujui pak Luhut selaku Menko Maritim yang memimpin rapat saat itu dan dihadiri sejumlah menteri al. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Arif Yahya, Menteri KLH Siti Nurbaya, Gubernur NTT, saya dan beberapa Dirjen di Kemenko Maritim. Itu sudah diputuskan, “ujar Marius.
Jadi manakala ada pihak dan publik yang menyatakan bahwa keputusan tairf ini melanggar aturan saya kira tidak, karena kita sudah dibicarakan ditingkat Menteri dan diputuskan itu diruang Kemenkomaritim dan tentu Bapak Presiden sudah tau soal ini, ujarnya lagi.
Soal pemanfatan uang dari tarif yang mahal itu katanya, untuk kepentingan semua orang NTT terutama para pelaku wisata, untuk konservasi, untuk pengawasan, untuk pemberdayaan UMKM yang mana ada pelaku wisata didalamnya baik yang ada di Manggarai Barat maupun di daerah lainnya di provinsi NTT.
Bahwa ada pendapat dan gelombang demontrasi yang mengarah pada penolakan dan kontroversi, itu hal biasa dalam demokrasi, ada ruang untuk publik menyampaikan pendapat dan gagasnya tapi diharapkan mari bersama menciptakan kenyamanan didestinasi wisata Labuan Bajo dan seluruh NTT.
“Ini terobosan besar yang dilakukan Gubernur NTT yang bisa mempengaruhi pemerintah pusat untuk mendapat bagian dalam pengeloaan potensi sumber daya alam dan pariwisata kita yang selama ini memang semuaya dikendalikan pusat. SDA yang ada harus dikelola barengan untuk kepentingan propinsi dan kabupaten,” kata Doktor Ekonomi Jebolan Institut Pertanian Bogor itu.
Kita bisa bayangkan, sekarang ini Pendapatan Negara Bukan ajak (PNBP) dari TNK langsung ke Jakarta mencapai puluhan miliar pertahun.
“Waktu saya di Dinas Pariwisata itu saya dapat laporan sekitarn Rp 32 miliar pertahun padahal kalau dikelola lebih bagus maka pendapatnya bisa mencapai ratusan miliar per tahun. Nah ini hanya pemikiran seorang Gubernur yang cerdas, berani tidak populer dan punya pola pikir ekonomi yang kuat,” katanya.
*Berdayakan Potensi Perairan*
Satu hal yang belum dilirik oleh siapapun adalah soal pemanfataan ppotensi perairan di kawasan TN Komodo selain pundi-pundi yang didapat negara dari potensi sumber daya darat dan pantai serta satwa varanus komodoensis itu sendiri.
Pemerintah dan khususnya pengelola BTKN selama ini harus jujur mengakui bahwa belum optimal memberdayakan kawasan perairan sekitar yang menjadi sumber pendapatan daerah. Ada begitu banyak kapal pesiar yang masuk dan berada diperairan kita, kita perlu mengatur berapa biaya yang harus dibayar saat parkir diperairan kita per jam.
Misalnya kapal pesiar mewah dengan ribuan penumpang yang parkir ditengah perairan dan para penumpangnya turun untuk ke TNK dengan bantuan boat-boat kecil, ini mestinya jadi sumber-sumber pendapatan yang selama ini kurang dioptimalkan menjadi duit pemda.
Dengan penerapan tariff ini, diharapkan semua sumber daya itu bisa digali untuk kepentingna masyarakat NTT. Hal itu bisa dilakukan kalau kita mempunya SDM profesioanl dan sumber daya peralatan yang memadai untuk mendeteksi itu semua terutama fungsi pengawasan yang butuh biaya mahal. Pertanyaannya, duit itu dari mana apakah hanya perlu dari BTNK? Kan tidak cukup untuk visi besar ini. Tariff senilai Rp 15 juta ini sebagian bisa dialokasikan untuk itu.
Tentu terkait ini, jangan dilihat kondisi sekarang tetapi lihatlah kedepannya. NTT juga mau tunjukan kepada dunia, bahwa ini satu objek wisata unggulan. Bagaimana, mau lihat komodo? Perlu investasi soal itu kalau mau ke komodo. Nah bagi yang duitnya tidak cukup,,Ayo ke Rinca, kenapa tidak ke komodo, di pulau komodo itu sedang konservasi baik dari aspek landscapenya maupun subs capenya dan aspek lainnya. Kalau ke Rinca juga ada komodonya, sama saja, tarifnya juga murah meriah.
Nah ini yang perlu dijelaskan secara objektif sehingga kesan seolah- olah pemerintah membatasi orang termasuk warga NTT untuk melihat komodo didaerahnya sendiri. Mereka harus mendapatkan informasi yang benar.
*Pengusaha dan State itu Satu*
Soal ada pandangan bahwa kepetingan penetapan tarif itu erat kaitannya dengan kepentingan invasi dan investasi bisnis, Marius Jelamu mengatakan bahwa negara tanpa bisnis itu tidak berkembang. Tidak akan maju karena dimanapun didunia ini yang namanya pebisnis dan state (negara) itu harus satu untuk membangun ekonomi dan peradaban bangsa.
Peranan pengusaha dan pebisnis besar juga sangat dibutuhkan, dan yang paling penting adalah bahwa kalaupun mereka ada didalamnya, harus ada pemberdayaan ekonomi dan sosial untuk masyarakat.
“Saya mau katakana Bali itu maju sepeti sekarang bukan semata-mata peran negara, tetapi peranan pebisnis besar. Negara tidak akan mampu membangun hotel bintang lima dan restoran elit, itu kerjaan pengusaha. Jadi dimanapun negara maju, pengusaha dan state itu satu,” ujarnya.
Ia kemudian merincikan, saat ini kekuatan ekonomi nasional sebesar 85% digerakan oleh finance non state (uang bukan milik negara). Hanya 15% uang milik negara, 85% adalah uang milik non pemerintah. Inilah sebabnya, mereka yang non pemerintah ini harus diajak berkolaborasi dan bekerjasam dengan pemerintah.
*PT. Flobamora Dibutuhkan*
Soal ancaman ketidakberdayaan potensi sumber daya lokal hal mana dugaan lebih banyak pelaku wisata dari luar terutama Bali dan NTB yang terlibat mengusai bisnis pariwisata di Manggarai Barat dan NTT, dia menjelaskan bahwa rantai ekonomi dan jejaring harus digerakan secara baik serta terkoordinasi dan juga kolaborasi.
Untuk itulah diharapkan PT. FLobamor sebagai salah satu BUMD milik Propinsi NTT bisa diberi ruang lebih untuk mengelola potensi besar Taman Nasional Komodo ini secara professional, terukur dengan visi ekonomi yang brilian demi kesejatheraan rakayat secara luas.
“PT. Flobamora dibutuhkan untuk mengendalikan urusan ekonomi ini dengan skema pemberdayaan yang professional adil dan kompetititf melibatkan para pelaku wisata lokal,” tegasnya.
Sementara dari sisi regulasi, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf ) NTT selaku regulator harus terlibat untuk mengatur ketentuan-ketenuan yang memang memberi ruang lebih bagi para pelaku wisata lokal untuk mengambil bagian.
Dalam konteks mengendalikan Paket tour misalnya, berapaun tamu kapal pesiar ataupun wsatawan dari bali masuk ke NTT maka paket tournya harus berkolaborasi dengan orang NTT, tour leadernya harus dari NTT.
Tamu silakan dari mana saja katakana dari Bali ke Labuan Bajo maka yang menerima mereka disana itu mulai dari guidenya harus orang-orang lokal.
Tentu juga soal rate paket wisata katakana 4 hari 3 malam harus dicek, berapa yang dijual oleh tour leader itu? Inilah peran Dinas pariwisata propvinsi NTT dan Manggari Barat harus dikontrol dan diawasi sehingga praktek-praktek penentuan tariff secara terselubung atau non standar tidak terjadi dikalangan pelaku usaha itu sendiri.
Disinilah peran pemerintah sebagai regulator, perlu cek penerapan tariff oleh tour leader apakah normal, terlalu tinggi atau terlalu murah dan atau tidak layak diberikan kepada pengusaha lokal kita.
“Kita minta para tour leader untuk tidak boleh tutup mereka punya paket tour, ittenerary nya harus jelas dan diketahui pengusaha lokal.
Dengan demikian ketika ada cukong-cukong atau pelaku yang bermain harga tinggi dalam memasarkan paket tour ke TNK dan lainnya mesti bisa ditekan karena kuat dugaan selama ini praktek-praktek penerapan harga secara sepihak oleh pelaku wisata terpantau lebih memberatkan wisatawan khususnya untuk tamu group dan lain sebagainya.
“Itulah fungsi pengawasan dari pemerintah. Jadi tidak boleh membiarkan para pelaku seenaknya menetukan tariff atau harga. Harus diawasi betul karena kita yakin pasti ada praktek-praktek itu dilapangan, selama ini. Bahkan tariff yang dipatok bukan lagi Rp 15 juta perorang bisa lebih dari Rp 5juta hingga Rp 10 juta perorang mungkin saja ada,” katanya.
Dia juga menegaskan soal peran syahbandar misalnya, harus tegas dan tidak boleh kong-kalikong dengan pelaku wisata, ini bisa bahaya.
Dinas perhubungan betugas mengecek keselamatan dan kelayakan kapal , tiap hari harus ada dipelabuhan. Juga termasuk menanyakan kepada tamu-tamu itu, berapa yang dibayar untuk paket wisata ke TN pulau komodo.
“Untuk mengecek permainana tariff secara illegal, Pemerintah harus juga siapkan tim advance untuk melakukan investigasi sehingga dugaan-dugaan praktek mafia tariff dapat ditekan sedemikian rupa, tegasnya.
*Online Registration, Sebuah Kemajuan*
Soal penerapan system penjulan tiket secara online ke TN Pulau Komodo dan Padar, Marius menilai itu adalah sebuah terobosan yang maju yang memudahkan semua pihak baik wisatawan untuk melakukan registrasi secara digital dan juga memanfatkan semua tawaran harga dan fasilitas yang diinginkan.
Online System itu juga memudahakan semua pihak untuk melakukan pengawasan terhadap Manajemen PT. Flobamor dalam kinerjanya. Harusnya didukung karena jejak digital itu lebih mudah diawasi ketimbang teriak-teriak dijalan dan lalu membuat dugaan-dugaan serta tafsir liar yang menguras waktu dan energy.
Platform digital yang diterapkan katanya sangat memudahkan semua pihak untuk menikmati fasilitas layanan yang well organiazed, terukur, standard serta jauh dari praktek-praktek mafia yang berdampak pada ketidaknyamanan pengunjung serta kualitas layanan yang tidak linear.
“Keraguan pada PT. Flobamor itu tidak perlu berlebihan, semua kinerja mereka justru terkontrol dengan system. Semua orang bisa dengan mudah memantau justru dari HP anroid masing-masing. Ini kemajuan transformasi digital yang sudah saatnya diterapkan untuk memudahkan siapapun,” kata Doktor asal kabupaten Manggarai Barat ini.
Dengan system itupun publik bisa mengontorl setiap rupiah yang masuk apakah itu wisatawan dari Amerika, Eropa dan laim-lain yang membeli tiketnya dari PT. FLobamor, uangnya dimasukan kemana dan tentu melalui Bank NTT sebagai bank daerah, itu bisa dengan sangat mudah diawasi.
Soal monopoli peran dilapangan oleh PT.Flobamor katanya itu tuduhan yang terlalu dini. Menurutnya PT. Flobamor dalam urusan ini hanya menjadi koordinator, tugasnya mengorganisasi, sementara semua peran dilapangan itu melibatkan semua pelaku usaha lokal baik sopir, pengusahan angkutan, kapal, guide, petugas pintu masuk para ranger dan petugas kesehatan lapangan, termasuk masyarakat di destinasi yang memasarkan produk-prodik UMKM nya.
Dibutuhkan suatu sitem yang bagus, antara pemerintah provinsi dan pemerintah Manggarai Barat sehingga tidak menimbulkan gesekan antar pelaku.
Pelaku juga diminta memahami maksud baik pemerintha, ketika uang itu masuk ke pemerintah juga tentu dikelola dengan professional untuk membangun Nusa Tenggara Timur. Jadi skop besar yang diurus pemerintah.
PT. Flobamora bersama lintar sektor juga harus memastikan semua SDM Tour Operator dan fasilitas kapal-kapal yang dikelola benar dan memenuhi standar sertifikasi sehingga pelayanan menjadi paripurna untuk wisatawan.
Demikian pula untuk kapal-kapal yang kini beroperasi harus berada dibawah satu otorita sehingga terorganisasi dengan baik serta matching dengan online system yang ada. Mereka tidak boleh berada diluar system sehingga pengontrolannya mudah dari semua aspek.
Juga soal harga tiket dari Labuan bajo ke pulau komodo berapa, harus dicek betul dan berapa pajak penerimaan negara dari situ. Itu harus jelas, termasuk berapa biaya parkir selama kapal itu berada di perairan komodo. (tim)