Meski telah terpilih menjadi Bupati TTU periode 2016-2021, namun Ray Fernandez tak pernah berubah. Ia tetap merasa diri sebagai orang kecil yang terbiasa dengan keadaan susah.
“Bagi saya menjadi bupati hal yang biasa. Saya tetap orang kecil yang sudah terbiasa dengan keadaan susah,” kata Raymundus Sau Fernandez.
Ia mengatakan, istrinya pun berasal dari keluarga pegawai negeri sipil dengan golongan kecil. “Jadi sudah terbiasa dengan hidup susah. Bapak saya bekerja di sawah dan bagi saya itu sudah biasa. Karena itu adalah bagian dari profesinya,” tuturnya. Ketika masih kuliah, Raymundus Sau Fernandez mengaku biasa bekerja di sawah membantu ayahnya, juga memelihara ternak.
Bagi istri dan anak-anaknya, sebut dia, mungkin karena tidak diperbiasakan menjadi istri dan anak-anak pejabat, jadi mereka sangat sederhana, makan juga apa adanya. “Ada teman-teman wartawan yang kadang saya ajak makan di rumah, kadang mereka kurang yakin dengan apa yang kami makan, karena semuanya serba sederhana. Dari dulu juga kami seperti rakyat biasa umumnya. Kalau ada ubi kita makan ubi, ada jagung kita makan jagung. Jangan sampai hanya karena status sudah jadi bupati jadi makanannya juga ikut berubah jadi makanan pejabat. Itulah pengalaman yang saya alami,” tutur Raymundus Sau Fernandez yang juga mantan aktifis GMNI ini.
Menurutnya, ia telah banyak kali mengalami pengalaman buruk, di antaranya pernah dipukul oleh camat, dilempar oleh teman-teman pengurus camat, dan pernah juga dikeroyok.
“Saya lalu merefleksi, mungkin itu adalah bagian dari perjalanan hidup saya. Untuk menjadi besar seperti sekarang, saya rasa ujiannya cukup banyak. Saya juga sangat bersyukur karena Tuhan melindungi dan memberkati saya sehingga saya dapat melewati semua cobaan itu,” ujar Raymundus Sau Fernandez.
Ia juga menjelaskan, rumah pribadi yang saat ini ditempati di bilangan kilometer lima adalah hasil kredit dengan harga sekitar Rp700 juta. “Rumah itu bukan hasil dari gaji saya sebagai wakil bupati, tetapi saya cicil dengan penghasilan lain, di antaranya pemasukan dari sebuah armada truk yang saya miliki, hasil kebun, sawah dan hasil menjual sapi,” jelas Raymundus Sau Fernandez.
Ia juga mengaku bahwa ia banyak berteman dengan mereka yang punya hobi sama terhadap kuda. “Mereka bukan aparat pemerintahan. Mereka adalah orang-orang swasta murni, membuka usaha toko atau rumah makan. Berteman dengan mereka cukup membantu saya, terlebih dalam hajatan partai dengan cara memberikan bon. Sampai dengan kampanye kemarin pun, bon-bon saya tetap dilayani karena pertemanan kami sudah lama. Biasanya sekitar satu atau dua bulan, bon-bon tersebut sudah kami lunasi. Dalam urusan bon ini kami tidak pakai sistem tagih,” kata Raymundus Sau Fernandez.
Ia menambahkan, selama proses pemilukada 2010-2015, ia cukup banyak mengeluarkan biaya, termasuk beli hewan untuk makan minum. “Babi memang habis cukup banyak, 214 ekor. Itu jumlah yang besar. Kalau sapi kami habiskan 87 ekor. Saya menghitung semua, mulai dari proses sosialisasi sampai dengan proses pelantikan. Dan memang semua ini tidak semata-mata milik saya, tetapi juga dari keluarga. Ada mertua dan bapak mama kandung saya,” ujarnya.
Ia menambahkan, selama menjadi wakil bupati hingga kini jadi bupati, banyak hal yang dirasakan tidak menyenangkan yang dilakukan orang-orang tertentu. “Tapi saya berusaha untuk tidak menganggap apa yang mereka lakukan. Walau mereka seperti tidak menganggap saya, saya menanggapi itu sebagai angin lalu. Tetapi dengan itu juga semakin mengasah saya untuk selalu sabar, rendah hati dan paling tidak menjadi semakin matang,” kata Raymundus Sau Fernandez. (Bersambung)