Pandemi Covid-19 : Keterbatasan  Pelayanan Dalam Penghayatan Iman Umat

Oleh :Emilius Mario Mara Owa  (Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira)

 

Bacaan Lainnya

 Pandemi covid-19 berhasil membelokkan kebiasaan-kebiasaan umat beragama dengan menitipkan keharusan-keharusan yang mau tidak mau harus dipatuhi. Terutama untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sakramentali, pemimpin gereja dituntut untuk menjalankan rutinitas keagamaan secara virtual atau daring. Tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja memiliki perhatian terhadap iman umatnya, namun harus tetap melakukannya dengan memperhatikan protokol kesehatan.

 

Sejak awal tahun 2020 hingga sekarang, dunia disibukkan dengan merebaknya pandemi Covid-19. Pandemi covid-19 yang menyerang manusia, merupakan masalah kesehatan bersama yang dialami oleh umat manusia di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri covid-19 mulai dirasakan sejak Februari 2020. Sedangkan di NTT sendiri covid-19 baru dinyatakan merebak sejak Maret 2019. Seiring dengan meningkatnya jumlah pasien yang terpapar covid-19, maka masyarakat pun mesti hidup dalam keharusan-keharusan baru. Semisal, melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), menghindari kontak fisik, selalu mengenakan masker, rajin mencuci tangan dan mengenakan handzanitizer.

Dalam situasi pandemi covid-19 ini bukan hanya pemerintah yang mengalami keterbatasan pelayanan publik. Dampak yang sama juga dirasakan dalam dunia pendidikan. Kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka di sekolah-sekolah, harus diubah menjadi kegiatan belajar dari rumah berbasis daring. Hal serupa ini pun dialami oleh para mahasiswa di perguruan tinggi, yang mau tidak mau harus melakukan aktivitas perkuliahan secara online. Jika dilihat lebih lanjut, pembelajaran dan perkuliahan secara online memang aman bagi kesehatan para pelajar dan mahasiswa, namun turut menambah beban ekonomi. Semisal, harus bertambahnya pengeluaran untuk membeli pulsa data agar pelajar dan mahasiswa tetap dapat mengikuti kegiatan secara online.

Gereja di tengah merebaknya pandemi covid19 pun mengalami hal demikian. Di mana misa yang sedianya dilakukan oleh imam dengan partisipasi umat secara aktif dan sadar di Gereja, kini harus diikuti oleh umat secara live streaming dengan tetap berada di rumah. Pelayanan-pelayan sejenis yang bersifat sakramentali maupun kegiatan-kegiatan rohani lainnya pun mau tidak mau harus dibatasi. Semuanya itu demi menghindarkan umat beriman dari kemungkinan terpapar covid-19. Sederhananya, Gereja di tengah situasi pandemi covid-19 sedang mengalami keterbatasan pelayan. Bertolak dari fakta-fakta di atas, dapat dikatakan bahwa pandemi covid-19 bukan hanya merupakan pengalaman baru bagi masyakat secara umum, tetapi juga Gereja dan umat beriman secara khusus. Itu artinya Gereja dan umat beriman harus menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Walaupun demikan, bukan tidak mungkin bahwa umat beriman dalam situasi pandemi covid-19 ini akan mengalami keterbatasan dalam penghayatan iman, mengingat bahwa pandemi merupakan suatu pengalaman baru dan adapatasi terhadap pengalaman baru ini juga mebutuhkan durasi waktu atau tidak sekali jadi.

Walaupun demikian, harus diakui pula bahwa Gereja dalam keberadannya, selain mengusahakan perkembangan iman umat, juga sedang berusaha membantu pemerintah dan masyarakat untuk memutuskan rantai penyebaran covid-19, yakni dengan membatasi pelayan-pelayan secara langsung. Ketika aktivitas keagamaan mulai di batasi, seperti kegiatan ibadah pada hari minggu, katekese di lingkungan dan kegiatan sejenisnya, Gereja tidak bisa jika tidak mengambil langkah dalam rangka merawat iman umat. Eksistensi Gereja sungguh-sungguh dipertaruhkan dan saat yang sama iman umat juga perlu mendapat perhatian yang serius.

Di sisi lain dalam tempo dewasa ini, manusia siapa pun dia, hidup dalam zaman yang disebut “zaman internet”. Zaman internet tidak hanya membawa pengaruh-pengaruh negatif tetapi juga hal positif. Hal tersebut telah disadari oleh Gereja. Bertolak dari kesadaran tersebut, dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial pada tanggal 22 Februari 2002 dikatakan bahwa internet memang memberikan kegembiraan dan harapanyang begitu besar bagi banyak orang saat ini, namun sekaligus membawa duka dan kecemasan yang sangat nyata.

Kesadaran yang diungkapkan oleh Gereja di atas memantik daya imajinasi kita sebagai orang Katolik untuk melihat internet sebagai media sosial yang menggembirakan dan sekaligus harapan baru bagi Gereja di tengah Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dewasa ini. Pertanyaannya sekarang, ialah kegembiraan dan harapan yang seperti apakah yang perlu dihidupi oleh Gereja dalam konteks pandemi Covid-19? Bagaimana hal itu dinyatakan dan diwujudkan dalam zaman ini? Apakah zaman internet yang sedang booming dan trend saat ini sungguh-sungguh membawa kegembiraan dan harapan baru bagi komunikasi dan evangelisasi Gereja?

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat menjawab. Pertama, gereja bertumbuh sesuai dengan perkembangan dan situasi zaman. Itu artinya, gereja dalam situasi pandemi menggunakan internet sebagai wadah menumbuhkan dan mengembangkan iman umat. Dalam hal ini, di tengah pandemi ekaristi sebagai puncak dan sumber hidup umat beriman tidak dihilangkan, melainnkan dengan memanfaatkan media internet, Gereja tetap melayani kebutuhan umat beriman dengan cara yang berbeda tanpa mengorbankan kesehatan umat beriman. Kedua, pasti bahwa internet menjadi kegembiraan dan  dan harapan bagi gereja dan umat beriman. Hal itu tampak dalam kenyataan bahwa di tengah pandemi, gereja tidak membiarkan iman umat terlantar. Dengan kata lain, pandemi tidak menghalangi gereja dalam tugasnya untuk melakukan evangelisasi. Walaupun pandemi sedang berlangsung, namun Gereja tetap melakukan evangelisasi dan kegiatan rohani-gerejawi lainnya secara daring.

Lebih lanjut, harus diakui bahwa pandemi juga menjadi momentum bagi umat untuk menyadari bahwa setiap umat beriman adalah Gereja itu sendiri. Maka dari itu, umat beriman dapat belajar untuk melakukan dialog batini yang adalah dialog, diskusi dan disputasi. Dialog ini bukan hanya terjadi dengan orang lain, melainkan juga dalam diri sendiri. Dialog batini adalah dialog yang terjadi dalam pikiran dan hati seseorang ketika ia membaca medan pelayanan dan atau medan evangelisasi ketika seseorang berjumpa dengan yang lain, atau ketika berpartisipasi dalam kehidupan komunitas, dan atau latihan spiritualitas. Melalui dialog batini umat dituntut untuk mampu mengambil perspektif orang lain dalam memahami dirinya sendiri.

Dengan cara semacam itu, umat beriman dapat menumbuh kembangkan iman dialogis. Di mana melalui iman dialogis itu selalu ada kesegaran, visi dan energi serta komitmen untuk berpartisipasi melakukan usaha-usaha kemanusiaan dalam rangka membalas dan mewujudkan cinta Tuhan bagi keselamatan manusia. Iman haruslah menjadi produk hubungan dialogis seseorang dengan Tuhan. Hubungan kasih dan kerinduan merupakan inevitability, karena Allah maha kasih, sementara pada diri manusia ada kerinduan untuk kembali melebur ke dalam lautan kasih Allah. Dengan kata lain, umat dapat belajar untuk mewujudnyatakan imannya kepada sesama dengan berpartisipasi dalam memutuskan rantai penyebaran covid-19.

Hal-hal semacam inilah yang kemudian mengantar umat di tengah pandemi untuk dapat sampai pada tahap dialog iman.  Di mana, dialog iman dengan Tuhan praksis secara kontinyu dengan sesama manusia. Melayani dan mencintai Tuhan pada wujud praksisnya adalah juga melayani dan mencintai sesama. Wujud keberimanan umat beriman dalam berbesar hati menyandang predikat sebagai pengikut Kristus.  Dengan kata lain, umat beriman sendirilah yang menjadi Gereja atau agen evangelisasi di masa pandemi Covid-19. Dengan cara ini, setiap umat beriman membawa dirinya  untuk semakin mendekatkan cinta kasih Tuhan dalam dunia saat ini dan sekaligus membuat iman yang dialogis itu menjadi produktif ketika melayani sesama.

Pos terkait