Opini: Partisipasi Masyarakat Urat Nadinya Pemilu

Oleh: Mateus Hubertus Bheri, S. Sos
Alumni STPM Santa Ursula Ende

Pemilu merupakan salah satu instrumen penting bagi suatu negara untuk melahirkan pemimpin dan wakil rakyat. Tanpa Pemilu, sarana kedaulatan rakyat sebagai landasan utama kita dalam berdemokrasi menjadi cerita usang tanpa makna. Karena dari Pemilu sangat menentukan nasib bangsa ini untuk Lima tahun kedepannya.

Bacaan Lainnya

Menyukseskan pelaksanaan Pemilu tidak hanya dibebankan kepada penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan juga DKPP akan tetapi kesuksesan pelaksanaan Pemilu menjadi tugas dan tanggungjawab bagi semua elemen bangsa. Dengan kata lain, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan.

Coba kita bayangkan saja, bagaimana jadinya, seandainya Pemilu dilaksanakan tanpa adanya partisipasi dari masyarakat, baik partisipasi dalam memilih maupun partisipasi dalam mengawasi. Tentunya, sistem demokrasi yang kita anut seperti sekarang ini akan berjalan ditempat dan bahkan mengalami kemunduran.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, pada Pemilu 2019 yang lalu, ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (Golput). Jumlah ini memang menurun apabila dibandingkan dengan Pemilu tahun 2014 sebelumya. Pada Pemilu 2014 angka Golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.

Pemaparan data Golput di atas mau menunjukan bahwa partisipasi masyarakat dalam kontestasi Pemilu masih sangat rendah. Masyarakat belum menggunakan hak politiknya untuk memilih sebagai penentu masa depan republik ini.

Masyarakat masih menganggap, urusan politik (Pemilu) adalah urusan partai politik, para Caleg dan penyelenggara Pemilu, bukan domain mereka. Sikap pasif serta acuh tak acuh dari masyarakat inilah dapat menambah deretan angka Golput.

Dari sudut pandang teori, partisipasi masyarakat adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Hetifah Sj. Soemarto, 2003.78).

Penjelasan ini dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa dalam konteks partisipasi masyarakat, ada tiga faktor penting yang semestinya menjadi tugas dan tanggungjawab masyarakat yaitu proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan.

Tiga faktor penting ini yang mewajibkan masyarakat untuk ikut terlibat didalamnya agar seluruh kebijakan itu berdampak langsung terhadap kehidupan mereka.

Konsepsi tentang partisipasi masyarakat di atas bila dikaitkan dalam konteks Pemilu, ke ikut sertaan atau partisipasi masyarakat menjadi benteng utama agar demokrasi yang kita anut kian berkembang.

Karena itu, dalam Pemilu mengharuskan adanya partisipasi masyarakat, pertama partisipasi masyarakat dalam memilih dan kedua, partisipasi masyarakat dalam mengawasi.

Untuk poin pertama, spirit yang dibangun adalah mengurangi bahkan meniadakan angka Golput. Dan kedua, demi mencegah dan meminimalisir terjadinya kecurangan dan pelanggaran.

Ada banyak variabel yang menentukan tinggi angka Golput. Variabel yang pertama, rendah sumber daya manusia, sehingga menganggap Pemilu hanya sebatas ceremony yang selalu digelar lima tahunan yang tidak memberikan efek domino terhadap kehidupan masyarakat.

Anggapan ini yang kemudian mendorong masyarakat untuk enggan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam menentukan hak politiknya.

Variabel yang kedua, dari sisi administrasi. Konstitusi kita mengatur seseorang baru dikatakan sebagai pemilih apabila telah berusia 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau pernah kawin dan berikutnya adalah warga negara Indonesia.

Kendati demikian, minimalnya seseorang baru mendapat haknya untuk memilih harus dibuktikan dengan dokumen kependudukan seperti KTP ataupun Kartu Keluarga. Ketiadaan dokumen kependudukan ini yang menambah barisan Golput.

Variabel berikutnya yakni korupsi. Menjamur korupsi yang dilakukan pemimpin dan wakil rakyat direpublik ini bisa berdampak pada tinggi angka Golput. Karena masyarakat beranggapan bahwa Pemilu dijadikan sebagai ladang untuk melakukan praktek korupsi.

Variabel-variabel tersebut sebagai acuan untuk membangkitkan kembali kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Bahkan partisipasi masyarakat menjadi urat nadinya pemilu.

Sebagai urat nadinya Pemilu, peran serta masyarakat (partisipasi masyarakat) menjadi penentu arah dan masa depan sistem demokrasi yang kita anut.

Dari tiga variabel tersebut, sebagai aksi nyata yang menunjukan adanya partisipasi masyarakat dalam Pemilu misalnya bisa dilakukan dalam bentuk seperti, melaporkan kepada penyelenggara Pemilu apabila belum terdaftar sebagai pemilih.

Selain itu, partisipasi masyarakat bisa ditunjukan juga lewat aksi mengurus dokumen kependudukan sebagai prasyarat untuk didaftar sebagai pemilih dan mendatangi TPS untuk mencoblos surat suara yang disediakan oleh penyelenggara di bilik suara.

Aksi-aksi sederhana ini sebagai perwujudan bahwa masyarakat merupakan pribadi-pribadi yang dianggap penting untuk ikut berpartisipasi dalam menyukseskan Pemilu.

Contoh lain yang menunjukan adanya partisipasi masyarakat dalam konteks mengawasi misalnya, ikut terlibat dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh proses tahapan penyelenggaraan Pemilu.

Bak urat nadi yang merupakan salah satu organ tubuh paling vital pada manusia, partisipasi masyarakat juga merupakan organ paling vital dalam Pemilu. Tanpa partisipasi masyarakat, Pemilu hanya sebatas ceremony tanpa makna.

Begitu juga dengan urat nadi atau pembuluh darah nadi yang memiliki fungsi untuk mengalirkan oksigen dan nutrisi ke berbagai organ tubuh. Tanpa urat nadi, tentunya seluruh organ tubuh yang lain ikut terganggu dan bisa menyebabkan kematian.

Maka dari itu, meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu merupakan tugas dan tanggungjawab bersama dari semua anak bangsa.

Walaupun pada kenyataannya memilih dan tidak memilih adalah hak politik seseorang. Tetapi sebagai anak-anak bangsa Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat sudah menjadi konsesus bersama.

Oleh karenanya pendidikan politik kepada masyarakat menjadi sebuah keharusan. Pendidikan politik yang dimaksud tidak hanya didunia akademis, dilingkungan masyarakat, dan partai politik wajib dilakukan, misalnya dalam bentuk sosialisasi ataupun bentuk lainnya misalnya indoktrinasi politik.

Pos terkait