Jakarta, Savanaparadise.com,- 32 Tahun peristiwa Talangsari masih menyisahkan persoalan. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM peristiwa Talangsari di Talangsari, Lampung, Pada7 Februari, 32 tahun silam, merupakan pelanggaran HAM yang berat (PHB).
Di tengah proses penuntasan kasus yang masih berjalan, meski hasil peyelidikannya telah diserahkan kepada Jaksa Agung sejak tahun 2008 silam, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hadir membantu proses pemulihan hak para korban.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, pemulihan merupakan tantangan dalam perlindungan korban PHB. Pemulihan bertujuan mengembalikan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban agar dapat menjalankan fungsi sosial secara wajar.
“Diperlukan juga usaha untuk memberikan kompensasi kepada para korban agar mereka dapat menikmati hak yang sebelumnya hilang,” ujar Edwin, Minggu (7/3-2021).
Sesuai ketentuan undang-undang, jelas Edwin, LPSK memiliki sejumlah bentuk perlindungan, di antaranya pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikosial dan psikologis kepada korban PHB. Salah satunya kepada korban peristiwa Talangsari.
Edwin menuturkan, sejak akhir 2019, Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat bentukan Menko Polhukam melakukan usaha pemulihan lewat program rehabilitasi psikososial.
Rehabilitasi psikososial merupakan bentuk pemulihan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosial secara wajar, melalui upaya peningkatan kualitas hidup korban, berupa pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan mendapatkan pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Tim terpadu ini melibatkan kementerian, lembaga dan Pemerintah Lampung, termasuk LPSK.
Masih menurut Edwin, bantuan yang disalurkan kepada korban Talangsari, antara lain modal usaha, program keserasian sosial dan perbaikan jalan menuju makam dari Kementerian Sosial, bantuan paket perlengkapan pendidikan dari Kemendikbud, bantuan bibit dan mesin pertanian dari Kementerian Pertanian, bantuan perbaikan mushola dari Kemenag, pemasangan tiang dan sambungan listrik dari PLN, serta perbaikan jalan dari Kemen PUPR.
“Sebelumnya, bantuan medis dan rehabilitasi psikologis juga diberikan LPSK bagi korban Talangsari,” ungkap dia.
Program psikososial bagi korban Talangsari masih akan berlanjut. Harapan yang sama akan rehabilitasi psikosial dapat diberikan kepada korban peristiwa pelanggaran HAM yang berat lain, seperti peristiwa di Aceh, Mei 98, Trisakti – Semanggi, 98/99 dan lainnya.
Edwin menjabarkan, sejak 2012, LPSK memberikan program rehabilitasi medis dan psikologis kepada 3.860 korban PHB dari 7 peristiwa. Namun, hal ini masih kurang dari cukup bagi korban. Mereka menghendaki hak-hak sebagai korban dapat diberikan sebagaimana diatur standar HAM, maupun dalam posisi mereka sebagai warga negara.
Harapan akan peningkatan kualitas hidup, tergambar dari survei yang dilakukan LPSK terhadap 353 korban PHB di 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah (periode Maret- November 2020). Survei dilakukan untuk mengetahui kondisi, harapan dan keinginan para korban PHB masa lalu.
Dari hasil survei didapatkan 95% responden berharap mendapatkan bantuan medis seumur hidup. Ini beralasan mengingat sebagian besar korban berusia lanjut dan kehidupan ekonominya menengah ke bawah. Hal ini juga tergambar, 70% korban mengakui problem mendasarnya yakni, ekonomi. Menyandang status korban PBH, menambah kesulitan mereka melakukan aktivitas ekonomi akibat stigma sosial dan politik yang melekat.
Terkait harapan penyelesaian kasus, 50% responden menghendaki bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial mereka dioptimalkan. Sementara korban lainnya sebanyak 35% berharap adanya pengungkapan kebenaran, 10% berharap ada permintaan maaf dari pelaku dan 5% lagi mendesak pelaku dipidana.
Satu poin penting yang juga diharapkan para korban PHB yaitu kompensasi atau ganti rugi dari negara kepada korban. Kompensasi sebagaimana telah diperoleh korban terorisme masa lalu, yang diberikan tanpa putusan pengadilan tapi melalui LPSK. Harapan ini pun beralasan apalagi bila merujuk waktu peristiwa dan durasi penderitaan korban PHB jauh lebih panjang, ditambah proses hukum yang tidak berjalan.
“Semoga negara terus bergerak maju dalam upaya penyelesaian PHB dan pemenuhan hak korban,” pungkas Edwin.(SP/HUMAS LPSK)