Oleh :Denny Harakai
Beberapa perdebatan di kalangan ASN mempertanyakan;bagaimana tentang ASN yang mencalonkan diri sebagai kepala Daerah?Apakah aturan Netralitas ASN tidak berlaku untuk mereka?Apakah tidak melanggar ketentuan Netralitas ASN bila mereka mendekatkan diri dengan Partai Politik?Apakah tidak melanggar aturan netralitas ASN bila mereka melakukan kegiatan sosialisasi,memperkenalkan diri kepada masyarakat sebelum masa penetapan Calon?Bagaimana sisi netralitas mereka sebagai ASN?Bagaimana sikap Bawaslu Sumba Timur terkait hal ini?
Dalam kontestasi Pilkada 20202 Kabupaten Sumba Timur, seperti telah diketahui bersama, pencalonan Kepala Derah diikuti oleh 3 (tiga) orang pejabat ASN.Dan mereka sudah melakukan pendekatan ke Partai Politik terkait dengan pengusulan dirinya sebagai Calon Kepala Daerah.
PP 42 /2004 yang dijabarkan secara terperinci dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2018, Pemilihan Legislatif tahun 2019, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 tanggal 17 Desember 2017 menjadi suatu “aturan main” yang menjelaskan tentang Netralitas ASN dalam Pilkada,termasuk di dalamnya untuk ASN yang mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah.
Namun apakah sebuah surat Edaran mempunyai kekuatan hukum yang mengikat? Tentu saja. SE memang bukan produk peraturan perundang-undangan (regeling), tetapi dikategorikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan kebijakan ini sendiri didasari oleh asas kebebasan bertindak (freies ermessen) yang disematkan kepada badan atau pejabat tata usaha Negara. Surat Edaran merupakan instrumen administratif yang bersifat internal yang ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma yang bersifat umum. Namun demikian, setiap SE tetap harus tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satunya adalah, SE tidak boleh melabrak peraturan perundang-undangan yang ada.Ketentuan dalam Surat Edaran ini masih tetap berlaku sebeum ada surat yang baru yang menggantikannya.
Beberapa ketentuan bagi ASN yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah tertuang dalam Pasal 11 huruf c, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan bahwa dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. Maka PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik, semisal
PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Ketentuan ini menimbulkan dilema bagi ASN yang ingin mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah pada Pilkada.Apakah hak seorang ASN yang maju sebagai Calon Kepala Daerah lewat jalur Partai harus dibatasi?Hal ini banyak diperdebatkan karena sekilas ketentuan ini bertentangan dengan pasal 28 UU 1945 yang menyatakan :”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebaginya ditetapkan oleh undang-undang.Pada Pasal 28 D ayat (3) menyatakan bahwa “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan”
Terkait pendekatan diri ke Partai Politik dan posisi seorang ASN yang ingin mencalonkan diri,Mahkamah Konstitusi menjelaskannya dalam Putusan Nomor 45/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa ;
”……..Ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan,sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melaui mekanisme pemilihan Umum……..maka Undang-Undang dapat menentukan syarat-syarat yang diantaranya dapat memmbatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan system politik dan ketatanegaran yang berlaku pada saat ini.Dari perspektif kewajiban,keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikuranginya dalam konteks ini,melainkan sebagai konsekwensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik,sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan..”
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 41/PUU-X1I1I2014 tanggal 6 Juli 2015 dimaknai, “PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Perundangan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang telah diatur mekanisme dan persyaratan bagi ASN atau anggota TNI yang akan bertarung dalam Pilkada.Terutama pada Pasal 7 ayat (2) huruf (t )menyatakan, bahwa “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.”
Melihat pasal ini, ada dua hal yang wajib diketahui ASN. Pertama, harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota ASN. Kedua, pengunduran diri dilakukan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan oleh KPU,KPU Provinsi,KPU Kabupaten/Kota
Ketentuan dalam Putusan MK tidak mempermasalahkan tentang pendekatan seorang ASN ke Partai Politik dalam rangka pengusulan dirinya sebagai bakal Calon.
Namun,ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2018, Pemilihan Legislatif tahun 2019, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 tanggal 17 Desember 2017 menimbulkan berbagai multi Tafsir;bila ASN tidak mendaftar di Partai Politik,bagaimana Partai Politik bisa mencalonkan dirinya sebagai bakal calon yang akan diusung oeh Partai Politik dan di daftarkan di KPU;Bila pencalonannya di laksanakan melalui jalur perseorangan belum ada ketentuan dasar hukum yang mengatur tentang hal tersebut;selanjutnya bila ASN mendaftar di Partai Politik mengenai pencalonannya dilarang,maka apa yang sebaiknya dilakukan oleh ASN untuk mencalonkan dirinya.
Baik dalam UU Nomor 10 Tahun 2016,UU Nomor 5 Tahun 2014. 2,PP 53 Tahun 2010 dan PP 42 Tahun 2004 dan berbagai aturan lainnya tentang ASN,tidak disebutkan secara rigrid atau jelas terkait pendekatan ASN ke Partai Politik mengenai pengususlan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah.
Namun menurut penulis,ketentuan yang melarang tindakan ASN yang melakukan pendekatan ke Partai Politik mengenai pengusulan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah merupakan keputusan yang telah dipertimbangakn secara matang oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan telah diperhitungkan dengan baik tentang resikonya. Sejatinya,ketentuan ini dibuat agar ASN wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan dengan Tugas Pokoknya sebagai ASN yang mengawal dan melaksanakan kebijakan publik untuk kepentingan masyarakat. ASN harus bebas dari kepentingan-kepentingan. Kepentingan ASN adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, tidak boleh bergerak pada satu kepentingan tertentu, tetapi khusus kepentingan pada masyarakat yakni untuk memberikan pelayanan pada masyarakat.ASN sudah diikat oleh hukum Negara. Dalam hubungan hukum antara negara dengan PNS telah ditegaskan ketentuan tentang pembatasan perilaku bagi ASN yang bekerja dalam instansi negeri.ASN memiliki suatu hubungan hukum.Hubungan hukum antara negara dengan pegawainya disebut hubungan OPENBARE DIENSTBETERKING (hubungan dinas publik). Inti dari hubungan ini adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu yang mengakibatkan pegawai yang bersangkutan tidak menolak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Pemerintah sebaliknya berhak mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa adanya penyesuaian kehendak dari yang bersangkutan. Hubungan dinas publik ini digambarkan dalam teori Buys sebagai Contract Sui Generis; yang berarti bahwa birokrat pemerintah harus setia dan taat selama berstatus sebagai PNS,meskipun dia setiap saat dapat mengundurkan diri.Kesimpulannya: selama menjadi PNS,mereka tidak dalam melaksanakan hak-hak asasinya secara penuh
Dalam konteks netralitas,larangan PNS dalam berpolitik (mengikuti partai politik) bukanlah suatu pelanggaran hak asasi manusia,tetapi konsekwensi dari adanya hubungan dinas publik dan teori Contract Sui Generis.Pengaturan mengenai Netralitas dalam UU ASN dimuat dalam pasal 1 point 5 tentang manajemanen ASN yang dapat disimpulkan bahwa adanya pengelolaan ASN yang bebas dari intervensi Politik”.Dalam pasal 2 dikatakan bahwa PNS harus memiliki asas Netralitas yang memiliki maksud bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepentingan siapapun.Pasal ini mensyaratkan bahwa pegawai ASN harus tetap loyal hanya pada satu pihak yaitu pemerintah.Pengaturan lebih tegas lagi terdapat pada pasal 9 yang menyatakan bahwa :”Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik”
Keinginan ASN untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon Kepala Daerah adalah merupakan pilihan pribadinya sendiri,namun selama dia menjadi ASN maka dia harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan Kode Etik Aparatur Sipil Negara.
PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon Kepala DaerahlWakil Kepala Daerah
Definisi kata “mempromosikan” dalam Kamus Besar bahasa Indonesia adalah “mempropagandakan atau memperkenalkan (tentang suatu usaha dan sebagainya..”
Kalimat ini merujuk pada satu arti bahwa ; PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang “mempropagandakan atau memperkenalkan” dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Spanduk dan baliho termasuk dalam istilah Alat Peraga Kampanye, sebagaimana ketentuan dalam pasal 28 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur,Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Danwakil Walikota yang menyatakan bahwa;
“Alat Peraga Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. baliho /billboard/videotron paling besar ukuran 4 (empat) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 5 (lima) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kabupaten/kota;
b. umbul-umbul paling besar ukuran 5 (lima) meter x 1,15 (satu koma lima belas) meter, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kecamatan; dan/atau
c. spanduk paling besar ukuran 1,5 (satu koma lima)meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 2 (dua) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap desa atau sebutan lain/kelurahan.”
Ketentuan dalam ayat tersebut diatas secara kumulatif mensyaratkan bahwa:
PNS dilarang memasang Alat Peraga Kampanye (Baliho/spanduk)
Yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon
Yang dimaksudkan dengan Alat Peraga Kampanye adalah ;
“semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, dan program Pasangan Calon, simbol, atau tanda gambar Pasangan Calon yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Pasangan Calon tertentu, yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dibiayai sendiri oleh Pasangan Calon “(Pasal 1 Ayat 22 Pkpu 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota)
Sedangkan pengertian dari bakal calon adalah:
“Bakal Pasangan Calon Gubernur, Wakil Gubernur,Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang selanjutnya disebut Bakal Pasangan Calon, adalah warga negara Republik Indonesia yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk mengikuti Pemilihan.”( pasal 1 ayat (18) Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota)
Sehingga dengan demikian,bila terdapat pemasangan baliho/spanduk kandidat bakal calon saat ini,maka hal itu belum bisa dikatakan sebagai Alat Peraga Kampanye (APK).Definisi APK adalah ;” semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, dan program Pasangan Calon, simbol, atau tanda gambar Pasangan Calon yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Pasangan Calon tertentu, yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dibiayai sendiri oleh Pasangan Calon (Pasal 1 Ayat 22 Pkpu 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota).Pemasangan baliho /spanduk kandidat bakal calon pada saat ini (sebelum penetapan pasangan calon) masih sepenuhnya kewenangan Pemerintah Daerah.Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang akan mengatur terkait pemasangan baliho/spanduk dengan memperhatikan keindahan/estetika dan Etika,dan Polpp yang mengawasi pelaksanaan Perda tersebut (Pasal 6 PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja)
Kewenangan Bawaslu
Kabupaten/Pengawas Pemilu adalah mengawasi tahapan Penyelenggaraan Pemilihan/Pemilu.Bila belum ada tahapan penetapan Calon/kampanye berarti Bawaslu belum mempunyai kewenangan mengambil tindakan terkait pemasangan Baliho bakal calon/pasangan calon. (pasal 30 huruf (a) UU Nomor 10 Tahun 2016 junto pasal 8 ayat 1 Perbawaslu 12 Tahun 2017).
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa kandidat bakal calon adalah unsur dari ASN.Bawaslu bisa memproses/melakukan penindakan terkait Netralitas ASN yang berkaitan dengan baliho yang terpasang,bila pada baliho itu tertulis: “Bakal Calon atau bakal wakil Calon Bupati”;(Perhatikan Surat Menpanrb Nomor B/71/M.Sm.00.00/2017 Tentang Pelaksanaan Netralitas ASN Pada Penyelenggaran Pilkada Serentak Tahun 2018; Bagian C Huruf b) Pemasangan baliho adalah salah satu bentuk sosialisasi diri kandidat bakal calon.Hal ini sama dengan kunjungan keluarga kandidat bakal calon ke wilayah-wilayah kecamatan dalam rangka sosialisasi diri.Tidak ada aturan yang melarang kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh kandidat bakal calon
PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Pada saat ini banyak kandidat bakal calon yang sudah mengadakan sosialisasi dirnya ke wilayah-wilayah Kecamatan,bahkan beberapa ASN juga ikut dalam rombongan kandidat bakal calon tersebut.
Ayat diatas mensyaratkan larangan bagi PNS untuk mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah.Hal ini berbeda pengertian dengan suatu kegiatan “sosialisasi”
Kata “deklarasi”dalam Kamus Besar bahasa Indonesia adalah “pernyataan ringkas dan jelas (tentang suatu hal) atau suatu pendirian”Bila dikaitkan dengan kegiatan Politik,maka makna deklarasi adalah merupakan pernyataan sikap terbuka keikutsertaaan bakal/pasangan calon, yang menyiratkan dukungan ke Partai Politik
Sedangkan kata “sosialisasi”dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “upaya memasyarakatkan sesuatu/(seseorang) sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat; pemasyarakatan”
Dapat disimpulkan bahwa deklarasi adalah suatu pernyataan Politik oleh bakal calon,sedangkan sosialisasi adalah suatu kegiatan memperkenalkan diri yang dapat dilakukan oleh kandidat bakal calon kepada masyarakat agar dapat dikenal oleh masyarakat
Baik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 maupun dalam UU ASN tidak terdapat satupun pasal/ayat yang menyebutkan tentang larangan bagi kandidat bakal calon untuk mengadakan sosialisasi tentang dirinya kepada masyarakat.Dan tidak ada sanksi yang mengatur tentang hal itu
Ketentuan tentang “bakal calon” dalam ayat tersebut diatas Tidak Terpenuhi karena belum ada bakal calon yang ditetapkan oleh KPU/KPU Kabupaten Sumba Timur.
Penanganan Pelanggaran Bawaslu Sumba Timur terhadap ASN yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah;
Sesungguhnya Pengawasan Netralitas ASN oleh Bawaslu dan proses penanganan Pelanggarannya,adalah suatu amanah yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Badan Pengawas Pemilu.Hal itu dinyatakan dalam pasal 30 ayt (e) Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa;’
“Tugas dan wewenang Panwas Kabupaten/Kota adalah ; meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang”
Dalam UU 10 Tahun 2016 maupun dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum,kategori Pelanggaran Netralitas,tidak termasuk dalam Pelanggaran Pemilihan yang berkaitan dengan Tahapan-Tahapan Penyelenggaraan Pilkada. Bawaslu hanya diberikan tugas atributif oleh Kemenpan RB,Kementrian Dalam Negeri,Komisi ASN dan BKN untuk menindaklajuti temuan/laporan pelanggaran Netralitas ASN yang kemudian selanjutnya diteruskan kepada KASN untuk mengambil tindakan/keputusan/sanksi berdasarkan kewenangannya.Penanganan Pelanggaran Netralitas dikategorikan sebagai pelanggaran Hukum lainnya yang aturannya ditegaskan dalam Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014, PP 53 Tahun 2010 dan PP 42 Tahun 2004
Dalam pelaksanaan kewenangan atributif,Bawaslu menegakkan aturan main yang telah diatur dalam PP PP 42 /2004 yang dijabarkan secara terperinci dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2018, Pemilihan Legislatif tahun 2019, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 tanggal 17 Desember 2017
Berdasarkan ketentuan dimaksud maka pada tanggal 20 Februari 2020 dan pada tanggal 21 Februari 2020,Bawaslu telah memanggil 2 orang ASN yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah Kabupaten Sumba Timur untuk dimintakan keterangannya terkait “pendekatan ke Partai Politik terntang pencalonannya sebagai Kepala Derah”. Setelah melakukan,Pengumpulan bukti, Investigasi Lapangan dan Klarifikasi, maka Bawaslu Sumba Timur menemukan bahwa proses pencalonan mereka sebagai Kepala Daerah telah disetujui oleh Atasan (Bupati Sumba Timur).Kemudian Bawaslu Sumba Timur melakukan kajian analisis hukum dan meneruskannya kepada Komisi ASN untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pada tanggal 20 Februari 2020,Bawaslu Sumba Timur telah memanggil seorang ASN yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah untuk meminta keterangan terkait tindakan mempromosikan diri melalui kalender yang dengan setuju dan sadar dibagi-bagikan kepada masyarakat di desa Pulupanjang,Kecamatan Nggaha Ori Angu,Desa Karipi Kecamatan Matawai La Pawu dan di desa Ramuk,Kecamatan Pinu Pahar. Setelah melakukan klarifikasi,maka Bawaslu Sumba Timur melakukan kajian analisis hukum dan meneruskannya kepada Komisi ASN untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Bawaslu Sumba Timur telah melaksanakan prosedur penanganan Pelanggaran terkait Netralitas ASN berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas Penyelenggara Pemilihan secara jujur;,adil, berkepastian hukum, tertib, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas; akuntabilitas, efisiensi,dan efektivitas.