Di tengah kita bergelut dengan pandemi Covid-19, saya ingin menggelitik nurani kita semua tentang nasib para petani Indonesia yg semakin terpojok oleh kemajuan industrialisasi dan modernisasi. Mungkin kita semua sudah begitu berdosa pada mereka sehingga saat ini kita melahirkan dosa-dosa ekologis bangsa ini.
Indonesia merupakan negara agraris, di samping ada nama lain yang relevan, dimana pertanian masih jadi primadona pembangunan dalam upaya membangun kesejahteraan rakyat, sesuai tujuan kita bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 45. Melalui pertanian kita bisa makan nasi dan jagung, kita tanam singkong dan ubi, kita tanam tanaman agro bisnis yang bernilai ekonomis, dan lain – lain.
Di atas tanah pertanian, kita bisa beternak dan membangun kebun komoditi yang ternyata ampuh menjadi penyanggah ekonomi bangsa, di saat krisis melanda Tahun 90 an. Melalui pertanian kita bangun base ekonomi bangsa dengan petani sebagai ujung tombaknya.
Akan tetapi akhir-akhir ini, seiring dengan tuntutan pembangunan industri dan modernisasi, mengandalkan teknologi yang sophisticated, dengan kebijakan pemerintah, bleib, yang lebih berorientasi pada pembangunan industri perumahan, kehidupan petani semakin terpojok, menderita dan dilupakan.
Beberapa indikator menunjukan hal tersebut berupa, pupuk langka dan mahal, harga beras lokal lebih rendah dari impor, kebijakan impor beras terus menerus, dan minimnya lahan pertanian sehingga petani semakin tidak berdaya.
Di samping itu, yang urgent dari pemerintah saat ini adalah tanah persawahan yang semakin kritis unsur haranya, area persawahan makin sempit, dan kualitas beras lokal yang semakin menurun. Ambil contoh di Karawang dan purwakarta, kendati dilalui saluran irigasi primer namun lahan sawah di dua kabupaten itu hampir habis. Pada hal di dua daerah ini menjadi andalan persawahan Jawa Barat bahkan Indonesia.
Pengaturan Tata Ruang oleh Pemerintah daerah terutama di perkotaan sering tidak konsisten, yang mengakibatkan lahan pertanian di ubah menjadi lahan perumahan yang otomatis mengurangi area pertanian. Pada hal jika pemerintah daerah konsisten menegakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), maka sebenarnya sawah atau lahan pertanian itu adalah “zona hijau” yang tidak boleh dibangun atau di ubah fungsinya.
Oleh karena itu, yang mendesak bagi petani untuk dapatkan perlindungan hukum saat ini adalah, terjaminnya status lahan dalam rencana tata ruang wilayah yang peruntukannya untuk pertanian dan tidak boleh dialih fungsikan. Jika Badan Pertanahan Nasional (BPN) hendak mengubah sertifikat yang statusnya lahan pertanian menurut RTRW menjadi Sertifikat Hak Milik atau Hak Guna Bangunan untuk perusahaan atau developer, maka BPN dapat dikatakan diduga melakukan tindak pidana karena menabrak RTRW kendatipun ada akte jual beli untuk itu.
Jika dalam RTRW status lahan tersebut adalah pertanian, maka pihak tata ruangpun tidak bisa dan tidak boleh menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk membangun perumahan atau perindustrian di atas lahan tersebut. Akan tetapi pelanggaran ini dibiarkan berlangsung terus menerus dalam praktek dan dianggap lumrah, akan tetapi sebenarnya sangat merugikan petani.
Berangkat dari secuil keprihatinan demikian, Pemerintah RI ke depannya harus lebih tegas, konsisten, taat orde, untuk menerapkan aturan apapun dibidang pertanian guna melindungi petani dan lahan pertaniannya sesuai aturan hukum yang telah di buatnya, dan tidak lagi memenuhi order para kapitalis yang selalu membumihanguskan lahan pertanian untuk industri dan perumahan. Dengan demikian, tujuan kita bernegara tidak sekedar utopia dan kita hindari penjajahan kaum kapitalis terhadap proletar yang dilakukan secara sistematis dan massal.
Perlindungan hukum negara yang diberikan oleh pemerintah kepada petani seyogyanya untuk tiga kategori petani sebagai berikut :
1. Petani utamanya petani penggarap yang mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani dengan skala lahan 2 ha.
2. Petani yg memiliki lahan dan melakukan usaha budidaya tanaman Pangan pada lahan paling luas 2 ha.
3. Petani Hortikultura, Perkebunan, atau Peternak skala usaha kecil sesuai ketentuan perundang – undangan yang berlaku (living law).
Bentuk perlindungan ini bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraannya, kualitas hidup dan kehidupan yang lebih baik.
Perlindungan yang diberikan oleh state dan hukum kepada petani dapat dilakukan melalui berbagai cara dan model sebagai berikut :
Kesemuanya ini dapat terwujud jika pemerintah pusat dan daerah tidak bersekutu dengan pemodal untuk mengalihkan fungsi lahan pertanian. Tidak melakukan Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan mau menjauhkan diri dari sogok atau gratifikasi dari pengusaha.
Mungkin ini bisa terlaksana, jika iman dan akhlak pemerintah kuat dan tak tergoyahkan oleh hedonisme dan budaya provan materialisme. Hukum jangan hanya dijadikan kata pembenar, tapi hukum harus dijadikan sandaran untuk lindungi petani karena mereka bukan hanya anak bangsa tapi lebih dari itu “pemilik republik ini”. Mereka memiliki hak asasi yang tidak boleh dikurangi sedikitpun, kata konstitusi.
Dengan begitu, kita tidak lagi melakukan “dosa-dosa ekologis” seperti diingatkan oleh Paus kita yg mulia “Papa Fransiskus”. Mungkin pandemi Covid-19 ini semakin membangkitkan rasa manusiawi kita untuk berpihak pada petani.