Opini : Belajar Online, Kesenjangan Sosial Model Baru Dalam Dunia Pendidikan Di Era New Normal

 

Oleh: Mateus Hubertus Bheri (Ketua DPC GMNI Ende)

Beragam pilihan kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah untuk menghadang lajunya penyebaran virus corona, mulai dari penerapan physical distancing (jaga jarak secara fisik), hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah yang terpetakan sebagai episentrum penyebaran.

Bahkan, Pemerintah tak segan-segan memberlakukan larangan mudik menjelang hari raya. Selain itu, Kementrian Agama RI bekerjasama dengan MUI mengeluarkan Surat Edaran agar aktivitas pembagian zakat dan sholat tirawi di masjid-masjid dihentikan.

Virus corona telah menimbulkan turbulensi (guncangan) yang sangat hebat terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, baik dari aspek ekonomi, kesehatan, pendidikan, maupun dengan kebiasaan-kebiasaan dan tradisi agama.

Tidak sedikitnya banyak kecaman, kritikan, serta protes muncul, baik melalui media sosial, media cetak, maupun elektronik yang ditujukan kepada Pemerintah.

Demi stabilitas Negara dan pemulihan kondisi karena terdampak corona, pada akhirnya membawah Pemerintah Indonesia pada pemahaman untuk menerapkan kebijakan new normal.

Wiku Adisasmita, seperti yang dilansir oleh Detik. com mengatakan, new normal sendiri dimaknai sebagai perubahan perilaku masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas secara normal.

Tentunya, diharapkan agar penerapan new normal tidak berimplikasi terhadap penambahan penularan ataupun perluasan penularan.

Sehingga, istilah new normal sebenarnya lebih eksplisit tentang kehidupan baru, perilaku baru, dan cara-cara baru, namun tetap mengacu, untuk mematuhi protokol kesehatan seperti, jaga jarak, pakai masker, dan selalu cuci tangan.

New normal menghantarkan manusia, dari tata cara lama, kebiasaan lama, diubah dengan cara baru, kebiasaan baru. Perubahan ini juga nampak dalam dunia penidikan Indonesia.

KONSEP PENDIDIKAN DARING

UNESCO mencatat hingga akhir Mei 2020, sebanyak 1’19 Milyar Anak diseluruh dunia terkena dampak penutupan sekolah akibat Covid-19.

Hasil survei dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan 97,6 sekolah melakukan aktivitas pembelajaran di rumah.

Hasil survei itu diperkuat dengan dikeluarksn Surat Edaran (SE) dari Kementrian Pendidikan Republik Indonesia No. 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 tertanggal 24 Maret 2020, semua kegiatan belajar dilaksanakan dirumah (Home Learning).

Awal mulanya, penerapan metode belajar home learning (belajar dirumah) dilakukan demi memutuskan mata rantai penyebaran corona. Dengan kata lain belajar online sangat membantu gugus tugas dalam percepatan pencegahan dan penanganan Covid-19.

Apalagi, penyebaran virus corona hampir menyebar disebagian besar daerah di Indonesia, termasuk NTT dan Kabupaten Ende. Boleh saya menyebutkan, dalam situasi panik dan terdesak, merumahkan seluruh aktivas para Pegawai, Buruh, Karyawan, Pelajar dan Mahasiswa adalah pilihan terakhir yang di ambil.

Pilihan yang dinilai tergesa-gesa dan terburu-terburu dapat menimbulkan kegamangan terhadap keputusan itu. Yang pada akhirnya, semua orang terkena dampaknya.

Bukan hanya Buruh dan Pegawai yang di PHK. Dengan sistem belajar dirumah, hampir sebagian Pelajar dan Mahasiswa yang karena keterbatasan ekonomi dan sumber daya pendukung yang tidak memadai, membuat mereka menjadi penonton dikala teman-temannya menjalankan aktivitas belajar online.

Dunia pendidikan di Indonesia, NTT dan Kabupaten Ende secara khusus kembali pada situasi pelik dan sulit. Kalau kondisi ini terus dipertahan, kualitas pendidikan di Negara kita mengalami degradasi.

Terus, konsep pendidikan seperti apa yang perlu diterapkan di Indonesia dan Ende sehingga semua peserta didik, untuk semua lapisan masyarakat menikmati dan merasakan hal sama dalam dunia pendidikan.

KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT, SEMUA DAPAT SEMUA RASA

Pendidikan merupakan syarat mutlak untuk memajukan dan mencerdaskan putra putri bangsa. Selain itu, pendidikan juga merupakan medan pertarungan ideologi yang menentukan masa depan sebuah komunitas (Bangsa dan Negara).

Karena itulah, pendidikan merupakan alat vital demi melahirkan tunas-tunas muda, generasi harapan bangsa untuk menuju sebuah perubahan.

Sehingga, dalam dunia pendidikan, ada dua aspek penting yang menjadi perhatian besar Negara demi melahirkan manusia-manusia cerdas, unggul, dan berkompeten.

Pertama, kita berbicara tentang sistem pendidikan dan yang kedua kita berbicara tentang pendidik (Guru) dengan tidak mengabaikan peran setiap peserta didik, orang tua, keluarga, dan kelompok masyarakat.

Sistem pendidikan yang berbasis masyarakat, memiliki kunci penting dalam mengembang kualitas pendidikan di Indonesia dan Kabupaten Ende sendiri.

Bayangkan, apa jadinya apabila guru hanya memberikan kelas jauh dengan menggunakan daring, sedangkan siswa diminta untuk mendengarkan. Ini sangat bersebrangan dengan semangat yang dibangun oleh Bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.

Menurut para ahli, Edgar Dale mengatakan, pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan dengar sadar oleh keluarga, masyarakat, atau Pemerintah melalui bimbingan, pengajaran, pembelajaran, dan pelatihan.

Menurut dia, bimbingan, pengajaran, dan pelatihan, dapat dilakukan di sekolah, maupun diluar sekolah sepanjang hidupnya untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat menjalankan perannya dalam lingkungan untuk masa yang akan datang.

Saya pun mengklasifikasi dalam beberapa poin penting atas pendapat Edgar Dale. Pertama, untuk mempersiapkan peserta didik yang unggul dan berkompeten, bimbingan pengajaran, pembelajaran, dan pelatihan wajib dijalankan.

Kedua, agar peserta didik dalam menjalan perannya dalam lingkungan untuk masa yang akan datang dibutuhkan kerjasama dan gotong royong, baik keluarga, masyarakat, dan Pemerintah.

Ketiga, untuk menjawabpi dua poin di atas, pendidikan tidak sekedar dilakukan di sekolah, diluar sekolah pun dapat dilakukan, misalnya pelatihan-pelatihan, bimbingan sore, kulia kerja nyata, dan abdi masyarakat.

Pandangan Edgar Dale, apabila dipraktekan secara baik, merupakan kekuatan besar dalam memajukan dunia pendidikan di Kabupaten Ende dan Indonesia secara keseluruhan.

Dan apabila disandingkan dengan penerapan konsep daring, menurut saya, ini bukan langkah tepat, melain Daring semakin menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial yang bakal berdampak semakin meningkatnya anak putus sekolah. Bahkan, bagi saya, konsep Dering dalam menurutkan semangat guru dalam memberikan pengajaran.

Pemerintah Daerah Kabupaten Ende semestinya harus melakukan advokasi dan kajian mendalam terhadap sistem pendidikan yang ingin diterapkan, bukan malah duduk manis dibelakang meja.

Sebab, pada kenyataannya penerapan konsep belajar daring, sepertinya hanya dinikmati oleh kalangan yang mampu, sedangkan mereka yang ekonominya pas – pasan sepertinya sangat kesulitan.

Banyak keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh orang tua. Mulai dari uang sekolah mahal, ditambah dengan beban lain seperti membeli HP Android, Laptop, dan juga Pulsa data untuk internetan.

Bahkan hampir sebagian besar orang tua menilai, sistem pendidikan yang diterapkan saat ini tidak kooperatif, mengabaikan sisi ekonomis masyarakat. Tidak jarang mereka menyebutkan, pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis.

Demi menghindari terjadinya ketimpangan dan kesenjangan dalam dunia pendidikan, konsep pendidikan yang diterapkan adalah konsep “Luring”, Mudah di jangkau oleh semua kalangan masyarakat.

Kalau teramat sulit, akibat keterbatasan tenaga pengajar, belajar kelompok merupakan pilihan lain, tanpa mengabaikan pengawasan dan control dari guru.

Belajar kelompok yang dimaksudkan disini, tidak diwajibkan untuk peserta didik saja, melainkan butuh keterlibatan dari pendidik. Sehingga konsep pendidikan berbasis masyarakat, “semua dapat semua rasa” bisa terwujud.

Dalam imajinasi, saya pun mengandai-andai, kalau Tuan Nyonya yang punya otoritas saat ini berada pada posisi masyarakat marjinal, tentunya keluhan yang sama akan keluar dari mulut Tuan Nyonya.

Dunia imajinasi saya besar sehingga sulit diwujudkan. Sehingga yang Tuan dan Nyonya dengar saat ini adalah rintihan suara kaum minor yang membutuhkan belas kasihan dari yang punya otoritas.

Saya sempat terkesima dengan pemberitaan yang diberitakan oleh media Kompas. com, tentang seorang anak yang relah belajar di sendiri di sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarganya.

Peristiwa di atas seharusnya merupakan bentuk pembelajaran untuk kita semua, terlebih bagi mereka yang berperan sebagai pengambil kebijakan di daerah ini.

Dimana, sebelum menerapkan konsep belajar daring, terlebih dahulu harus di identifikasi terhadap semua peserta didik, apakah setiap memiliki sumber daya yang cukup dalam menunjang konsep belajar daring?

Apabila keterpenuhan akan kebutuhan konsep belajar daring tidak memadai untuk sejumlah pelajar dan Mahasiswa, Pemerintah atau Dinas terkait harus mencari solusi lain, sehingga rasa keadilan dalam dunia pendidikan dapat dirasakan oleh semua peserta didik di tanah pertiwi ini.

Pos terkait