Ketika Jakarta Membara, Kupang Memilih Sejuk: Humanisme Melki Laka Lena di Hadapan Mahasiswa

Kupang,Savanaparadise.com– Siang itu langit Kupang tampak kejam. Matahari berdiri tegak di atas kepala, membakar aspal halaman Kantor DPRD NTT hingga beruap panas. Ratusan mahasiswa berdesak, suara pengeras suara meraung, spanduk terangkat tinggi, dan orasi bergema silih berganti. Keringat bercampur dengan amarah muda yang tak sabar didengar.

Di sepanjang dua jalur Jalan El Tari, tepat di depan Gedung Sasando hingga kantor DPRD NTT, ratusan aparat berdiri bersiaga. Barisan mereka rapih, menjaga ritme langkah anak-anak Flobamoratas yang tengah memperjuangkan suara hati demi kebaikan Nusa NTT. Di antara mereka terbentang pagar kawat yang melilit sepanjang jalan. Namun pagar itu bukanlah tembok pemisah, melainkan penanda bahwa keamanan dan aspirasi bisa berjalan seiring, dalam satu ikhtiar merawat kedamaian rahim provinsi ini.

NTT memang kerap dilabeli sebagai daerah termiskin. Angka-angka statistik sering menempatkannya di urutan terbawah. Tetapi di balik angka itu, ada kekayaan lain yang tak tercatat dalam tabel: kemewahan jiwa warganya. Dari tanah yang gersang ini, lahir manusia-manusia yang tidak pernah surut menjaga persaudaraan, yang menjadikan kemanusiaan sebagai modal utama merawat nusantara.

Ketegangan seperti tinggal menunggu percikan kecil untuk meledak. Namun, dari pintu utama kantor DPRD NTT, seorang pria berjas sederhana keluar. Gubernur NTT, Melki Lakalena, melangkah perlahan. Tanpa payung, tanpa podium, tanpa jarak. Ia berdiri di hadapan mahasiswa, menatap mereka satu per satu.

Sorot matanya tidak menantang, tapi menenangkan. Gerak tangannya sederhana, hanya mengisyaratkan bahwa ia datang untuk mendengar. Tidak ada pengeras suara yang ia gunakan. Hanya suara manusia yang ia bawa. Suara yang pernah ia gunakan ketika masih menjadi aktivis, orator muda. Melki adalah Sekretaris Jenderal PMKRI Pusat di jamannya.

Melki tahu persis bagaimana rasanya berdiri di tengah kerumunan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Ia pernah berada di sana. Dan di hari itu, ia tidak lupa asal-usulnya.

“Mahasiswa tidak boleh dimatikan suaranya. Mereka bagian dari kita yang ingin NTT lebih baik,” katanya singkat. Namun kalimat itu lebih dari sekadar kata-kata; itu adalah pengakuan, bahwa demokrasi tumbuh dari keberanian anak muda yang mau bersuara.

Yang tak banyak diketahui orang, malam sebelum aksi itu, Melki sudah lebih dulu menggelar doa bersama Forkopimda. Malam hening, doa-doa lintas iman terucap, menembus langit Kupang. Itu bukan sekadar ritual, tapi ikhtiar spiritual untuk menjaga NTT tetap damai—sebuah tanah yang sejak lama dikenal sebagai nusa penuh toleransi.

Kontras dengan Jakarta yang ricuh, di mana jalanan dipenuhi kobaran api dan fasilitas umum dilahap amarah, Kupang justru memperlihatkan wajah lain demokrasi: wajah yang teduh, penuh kesabaran, dan berbalut doa. Aparat TNI-Polri berjaga tanpa menakut-nakuti, mahasiswa berorasi tanpa menyalakan api, dan seorang gubernur hadir sebagai pendengar.

Hari itu, panas siang yang terik justru melahirkan kesejukan. Demokrasi tidak berakhir di jalan, tetapi menemukan ruangnya di halaman Kantor DPRD NTT.

Dan di tengah panas, di tengah doa, seorang Melki Lakalena menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak melulu tentang keputusan besar. Kadang, kepemimpinan lahir dari hal sederhana: telinga yang mau mendengar.

Di hari itu, demonstrasi di halaman Kantor DPRD NTT  berlangsung dengan wajah yang berbeda. Tidak ada cacian, tidak terdengar kata-kata kotor. Tak ada api yang membumbung, tak ada batu yang beterbangan. Yang ada hanya suara-suara lantang mahasiswa yang menyalurkan kegelisahan dengan cara yang bermartabat.

Orasi berjalan bergantian, aparat berdiri siaga, dan pemimpin daerah hadir mendengar. Semua berada di ruang yang sama, namun tanpa saling meniadakan.

Demonstrasi yang kerap dicemaskan sebagai sumber kericuhan, di Kupang justru menjelma menjadi ruang kasih yang bertaut. Mahasiswa berbicara dengan idealisme, pemerintah mendengar dengan hati, aparat menjaga dengan kesabaran.

Hari itu, demokrasi di NTT memperlihatkan wajahnya yang paling indah: lantang tapi tidak melukai, keras tapi tetap penuh kasih.

NTT tetap setia dalam pelukan Ibu Pertiwi, meski keterbatasan masih membelenggu nusa yang kerap dijuluki “nasib tak tentu.” Namun tanah ini tidak pernah cengeng, tidak pula grasa-grusu. Ia berdiri tegar, sederhana, dan apa adanya. Dalam segala kekurangan, NTT justru selalu menghadirkan kelimpahan: keramahan, persaudaraan, dan ketulusan. Ia tetap menjadi rumah yang ramah, tempat di mana napas nusantara berdenyut dalam kasih.***

Pos terkait