Oleh: Mateus Hubertus Bheri, S. Sos
Alumni STPM Santa Ursula Ende
Sejatinya Pemilu, tak hanya sekedar memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD melainkan dalam pemilu bagaimana kita menjaga hak rakyat (amanat konstitusi) dapat tersalurkan dengan baik, mulai didaftarkan sebagai pemilih hingga pada penghitungan suara. Makanya tak heran, dari setiap pemilu ke pemilu sistem dan tata aturan pemilu selalu berubah-ubah agar melahirkan pemilu yang berintegritas.
Dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, defenisi dari Pemilu sendiri adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan kata lain, Pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat yang selalu dilaksanakan setiap lima tahun untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Dalam hal ini, rakyat menjadi tuan di atas negerinya sendiri. Coba bayangkan, bagaimana pengaruhnya rakyat sehingga presiden dan DPR pun di pilih olehnya.
Kendati demikian, kebanyakan pemimpin dan wakil rakyat di republik ini tak mempunyai “asas tahu diri”. Ketika kepercayaan besar diberikan oleh rakyat, malahan mereka menggunakan jabatan dan kekuasaan itu untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kolega dengan melakukan praktek korupsi.
Perlu di sadari bersama, Pemilu baru dikatakan berkualitas apabila hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, betul-betul tersalurkan di bilik suara. Lalu yang menjadi pertanyaannya, bagaimana kita dapat memastikan secara jelas bahwa suara rakyat sebagai manifestasi dari demokrasi tidak dikebiri?
Adam Pzeworski (1988) dalam tulisannya membagi dua alasan mengapa Pemilu menjadi variabel sangat penting dalam suatu negara demokrasi. Pertama menurut Adam, Pemilu merupakan suatu mekanisme transfer kekuasaan politik secara damai. Secara tidak langsung Adam menginginkan agar Pemilu itu harus dilaksanakan dengan jujur dan adil tanpa ada kecurangan dan menghindari terjadinya konflik sosial. Artinya, para kontestan, baik dalam Pemilu dan pemilihan mampu memenangkan mayoritas hati rakyat dengan cara-cara fair.
Alasan pertama yang di paparkan oleh Adam Pzeworski rumusannya sangat sederhana. Itupun jika setiap peserta Pemilu, baik partai politik maupun calon perseorangan memiliki keinginan yang sama yakni sama-sama menyukseskan seluruh proses tahapan Pemilu dengan baik, tertib, dan aman. Tetapi kenyataannya, dalam setiap kali penyelenggaraan Pemilu, masih banyak kita temukan kecurangan dan pelanggaran terhadap seluruh proses tahapan Pemilu. Baik itu dalam bentuk pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, bahkan hingga pelanggaran kode etik.
Di Pemilu 2019 yang lalu misalnya, wajah demokrasi kita kembali tercoreng akibat ulah Kelompok Penyelengara Pemungutan Suara (KPPS) yang melakukan malapraktek kecurangan dengan cara mencoblos surat suara bagi pemilih yang sudah meninggal. Perbuatan penyelenggara di tingkat bawa ini telah merusak dan merendahkan wibawa lembaga KPU. Akibat dari perbuatan memalukan itu, akhirnya anggota KPPS dimaksud harus berakhir di penjara.
Alasan Kedua yang di tulis oleh Adam Pzeworski adalah demokrasi memberikan ruang kebebasan bagi individu, meniscayakan terjadinya konflik-konflik. Secara eksplisit Adam Pzeworski mau mengatakan kepada kita bahwa sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, tentunya memberikan ruang kepada setiap individu ataupun kelompok untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut melalui lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Sehingga, konflik-konflik yang ditimbulkan tadi tidak menyebarluas yang dapat menimbulkan perpecahan dan pertikaian.
Dalam benak kita masih terngiang kejadian pada pemilu tahun 2019 yang lalu di mana pasangan calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandi menolak hasil keputusan KPU atas penetapan rekapitulasi hasil perolehan suara pemilihan umum calon Presiden dan Wakil Presiden. Penolakan itu dilakukan dengan alasan bahwa telah terjadi kecurangan dan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sehingga sengketa hasil ini berakhir di meja Mahkamah Konstitusi (MK).
Memang situasi politik saat itu sempat memanas, namun patut kita syukuri walaupun terjadi polarisasi di tengah masyarakat, akan tetapi tidak ada insiden luar biasa yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Berangkat dari kejadian di atas, Pemilu semestinya wadah untuk melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang jujur dan adil bukan malah sebaliknya. Oleh karena itu pemilu harus betul-betul kredibel dan untuk mewujudkan itu dibutuhkan sosok calon pemimpin dan wakil rakyat yang negarawan, yang tidak mengedepankan cara-cara kotor untuk mendapatkan kekuasaan.
Patut diakui, dalam setiap kontestasi Pemilu dan Pilkada hampir semua pihak melakukan berbagai cara, sekalipun cara-cara kotor untuk menang. Maka dari itu, butuh keberanian penyelenggara, terlebih khusus Bawaslu untuk melakukan pencegahan dan penindakan agar cara-cara kotor di atas tidak terjadi. Dengan demikian, kemurnian suara rakyat tetap terjaga dengan baik.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Teguh Prasetyo pernah mengingatkan kepada seluruh jajaran penyelenggara Pemilu agar tidak main-main dalam menjaga kemurnian suara rakyat. Peringatan Prof. Teguh Prasetyo pada akhirnya memunculkan berbagai spekulasi di ruang publik. Tentu ini hal yang wajar dalam berdemokrasi agar ruang publik selalu di isi dengan perdebatan-perdebatan.
Namun, peringatan Prof Prasetyo perlu disikapi oleh penyelenggara Pemilu kalau mereka sama-sama menginginkan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dari waktu ke waktu semakin berkualitas. Nah, dasarnya adalah dengan menjaga kemurnian suara rakyat.
Menjaga kemurnian suara rakyat bukan saja pada saat pencoblosan di bilik suara atau saat penghitungan ataupun pada saat rekapitulasi surat suara yang ditutup dengan penetapan Caleg dan Capres yang terpilih sebagai pemenang dalam Pemilu. Menjaga kemurnian suara rakyat harus dimulai dari pemutakhiran data pemilih yang di lakukan oleh Pantarlih dengan melakukan Coklit (pencocokan dan penelitian). Dan Coklit itu dilakukan dari rumah ke rumah agar mendapat data pemilih yang akurat.
Akurasi Data Pemilih
Kompleksitas persoalan data pemilih dari Pemilu ke Pemilu menjadi perdebatan tersendiri di ruang publik. Tidak heran akurasi dan valid tidaknya data pemilih menjadi bahan pergunjingan bagi semua pihak yang berkepentingan. Namun akhir dari semua perdebatan itu ingin menjaga kemurnian suara rakyat.
Secara konstitusionalitas, rakyat yang telah memenuhi syarat untuk memilih memiliki otoritas penuh (hak istimewa) dalam setiap Pemilu dan Pemilihan. Otoritas ini menjadi sebuah keharusan dan dilindungi haknya, agar suaranya tidak hilang.
Inilah menjadi tugas besar bagi KPU untuk menjaga kemurnian suara rakyat mulai dari proses pendataan untuk memastikan hak warga yang telah memenuhi syarat untuk memilih di data secara baik dan benar agar data yang dihasilkan betul-betul akurat.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2022 yang kemudian di ubah PKPU Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Dan Sistem Informasi Data Pemilih, di pasal 2 ayat 1 memuat beberapa prinsip terkait penyusunan daftar pemilih dalam penyelenggaraan Pemilu dan salah satunya adalah akurat.
Prinsip akurat sebagaimana di maksud dalam PKPU tersebut merupakan prinsip penyusunan daftar pemilih yang mampu memuat informasi terkait pemilih yang benar, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kasus orang mati ikut coblos di atas mengambarkan kepada kita, setidaknya kita semua tahu bahwa pada Pemilu 2019 lalu terjadi polemik. Nah, untuk memutuskan mata rantai kecurangan minimalnya data pemilih harus betul-betul akurat dan valid. Sehingga untuk menghasilkan data yang akurat dan valid dibutuh proses olah data yang panjang dengan melibatkan berbagai pihak dan institusi serta regulasi masing-masing.
Misalnya pada sisi administrasi kependudukan ada Direktoral Jendral (Ditjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementrian Dalam Negeri yang memiliki otoritas kependudukan yang kemudian di olah menjadi Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Data ini kemudian nantinya akan diserahkan ke KPU untuk dilakukan sinkronisasi dan disandingkan dengan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu terakhir.
KPU kemudian menyerahkan DP4 yang sudah di sinkron dan disandingkan DPT Pemilu terakhir kemudian menerus data tersebut secara berjenjang untuk dilakukan proses pemutakhiran data pemilih melalui Coklit (Pencocokan dan Penelitian) oleh petugas yang disebut Pantarlih. Setelah Pantarlih melakukan pendataan pemilih dari rumah le rumah dengan berpatokan pada E-KTP dan Kartu Keluarga, data ini dicatat, diteliti, dan dilaporkan secara berjenjang ke PPS, PPS ke PPK, dan PPK meneruskan ke KPU Kabupaten/Kota. Selama dalam masa Coklit, Pantarlih didampingi oleh PPS dan di awasi oleh Panwaslu Keluharan/Desa.
Secara prosedur dan mekanisme pemutakhiran data pemilih bisa dibilang telah memenuhi ketentuan. Bayangkan saja sebelum di tetapkan data pemilih menjadi DPT, daftar pemilih hasil pemutakhiran itu di rekapitulasi dan ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS). Setelah itu DPS akan diumumkan secara terbuka untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat mengecek namanya di DPS kemudian menyampaikan masukan dan tanggapan terkait DPS tersebut untuk diperbaiki.
Usai menerima masukan dan tanggapan dari masyarakat, peserta Pemilu, dan Bawaslu DPS itu akan diperbaiki kemudian direkapitulasi ulang sebelum ditetap menjadi DPSHP. Dan proses demikian terus dilakukan sampai pada penyusunan DPSHP Akhir dan ditetapkan menjadi DPT. Selain itu, ada pula penyusunan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Sebagai orang yang pernah berproses dalam mengolah, melakukan pemutakhiran data pemilih, tentunya saya berkeyakinan bahwa sampai pada tahap penetapan DPT datanya betul-betul akurat dan valid. Keyakinan ini diperkuat dengan dibantu oleh siatem aplikasi yang ada di KPU seperti aplikasi SIDALIH selain dengan cara manual. Dari kerja-kerja SIDALIH kita juga bisa mengetahui daftar pemilih yang tidak memenuhi syarat, misalnya kegandaan. Disamping itu, apabila ditemukan bagi pemilih yang sudah meninggal sesudah masa coklit, lewat kerja sama dengan pemerintah desa dikeluarkannya surat keterangan kematian sebagai prasyarat agar pemilih tersebut keluar dari daftar pemilih.