Oleh : Ajhar Jowe
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Undana
Rencana pemerintah pusat meningkatkan status wisata Taman Nasional Komodo (TNK) menjadi pariwisata premium (wisata yang Super) yang mendapatkan sajian ekosistim wisata yang tentu mendapatkan nilai yang fantastic bagi pelaku wisata (Pengunjung) tentu masih menuai pertanyaan besar apakah wisata super permium itu dapat memberikan faedah yang seimbang dengan kenikmatan pelaku wisata.
Hal ini menjadi perhatian yang cuku serius oleh semua pihak, dibalik nilai premium berwisata ada beberapa nilai kultur budaya yang belum dimaksimalkan untuk mencapai keseimbangan premium sebuah wisata yang diminati banyak orang. Perhatian banyak pihak rencana dan penetapan pemerintah TNK Labuan Bajo dijadi wisata Premium datang dari berbagai pihak termasuk dunia international yang peduli pada lingkungan, budaya, serta tatanan sosial masyyarakat serta simbol-simbol budaya. Lembaga-lembag yang peduli terhadap TNK Komodo yang sudah dialih statuskan ke wisata premium tersebut masih menuai banyak pertanyaan, termasuk pertanyaan tersebut diuraikan oleh masyarakat local Kabupaten Manggarai Barat. Apakah status wisata premium ini menunjang secara budaya, adat istiadat, tatanan sosial sehingga mendukung rencana mulia pemerintah pariwisata premium.
Hal ini, menjadi pedulian semua pihak, baik nasional maupun dunia international termasuk beberapa universitas-universitas ternama dunia meragukan keberadaan satwa langkah Komodo bisa saja populasinya hewan tersebut akan punah. Kepedulian yang sama atas kebijakan oleh pemerintah pusat menetapakan TNK Komodo menjadi wisata premium. Hal ini bisa dibuktikan pengaruh terhadap budaya local masyarakat setempat antara komodo dan masyarakat.
Dengan berbagai respon, satwa yang sangat langkah di dunia ini, tentu yang ditakutkan oleh semua pihak komodo menjadi punah jika dipaksakan merubah cara hidup habitatnya, komodo harus diatur dengan pola yang berbeda serta penataan habitatnya tidak mengindahkan nilai budaya, tradisi yang diakui oleh masyarakat budaya setempat.
Tidak menutup kemungkinan dalam historis satwa langkah Komodo, disitu ada nilai yang terikat antara masyarakat local dengan satwa komodo. Sebut saja komodo, bagian dari sejarah manusia, antara komodo dan manusia. Tentu sejarah budaya ini belum diketahui oleh banyak kalangan, sementara keyakinan masyarakat setempat bahwa komodo menjadi kekuatan alam dan masyarakat local, baik masyarakat Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Tawa.
Tiga suku local yang secara turun temurun tersebut, menganggap komodo sebagai bagian sejarah leluhur yang cukup erat dengan sejarah antara manusia penghuni pertama tiga pulau itu dengan satwa yang cukup langkah di belahan dunia. Menjadi pertanyaann besar, apakah semua ekosistim tersebut sudah disajikan pada wilayah-wilayah pengkuan secara historis, jika tidak diakui maka, nilai yang dianggap sacral dalam keberadaan satwa dan tiga lingkunp penghuni pulau tersebut akan tergeser dan punah dari segi unsur biotik, Komodo dan masyarakat dapat menguburkan nilai budaya dan sejarah.
Walaupun tujuan pemerintah Pusat baik, dalam rangka peningkatan Status TNK menjadi Wisata Premium alias super premium, tentu harus dikaji dari aspek, pembangunan, ekonomi, pendidikan serta budaya menjadi bagian serta wilayah khusus yang perlu dipertahankan. Sebab, yang akan dirasakan masyarakat mereka bersentuh secara budaya, alam, lingkungan dengan infrastruktur super mewah menuju wisata premuium.
Pembangunan pariwisata premium, disisi lain masyarakat berbasis budaya yang berada di kawasan strategis pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo seperti masyarakat Pulau Rinca, Pulau Tawa, dan Pulau Komodo, meraka sudah menjama dengan kehidupan serta persahabat dengan satwa tersebut secara budaya dan adat istiadat berdasarkan sejarah kultur dan simbol-simbol tertentu dalam pengakuan Komodo dan habitanya telah diakui secara budaya.
Tentu ini, yang perlu dikaji dari berbagai aspek, apabila Komodo di Taman Nasional Komodo (TNK) habitatnya bisa terancam (hilang) karena dampak dari pembangunan wisata yang supar premium tidak mengindahkan ekosistimnya maka akan terjadi terancam kepunahan. Sebab, ancaman terbesar pada ekosistim di Pulau Rinca, Pulau Tawa, dan Pulau Komodo dengan berbagai luas yang berbeda-beda dan kondisi alam serta lingkungannya juga berbeda besar kemungkinan akan pengaruh penurunan pada populasi habitat secara terus menerus.
Hal ini menjadi perhatian dari sisi ekologis, budaya, lingkungan serta simbol-simbol dan tradisi masyarakat budaya pada tiga lokasi wisata yang ada di tiga titik itu.
Berdasarkan hasil penelitian Penelitian Universitas Australia Nasional Tahun 2003, Karl Bardt dalam bukunya berjudul “Mengapa Kampung Kebudayaan Kampung Komodo Terancam”. Ancaman hubungan antara masyarakat dan naga komodo, ketika pulau komodo menjadi bagian wisata alam dunia harus dilindungi dari campur tangan manusia dan pusat pemberian makanan ditutup, akibatnya naga komodo lapar dan mulai masuk kampung dan makan kambing dan ayam.
Walaupun sekarang memeliharan kelakuan alam naga komodo keselamatan masyarakat di kampung. Hasil penelitian menjadi pengantar akibat pengembangan secara perlahan-lahan sebelum ditetapkan menjadi pariwista premium ancaman sudah mulai pelan terhadap satwa terkait kekurangan makan dan berdampak pada masyarakat sekitar. Kita kembali ke belakang, sebelum peningkatan status wisata dampak negative belum begitu serius ancaman pada ekosistim.
Dikutip dalam sebuah artikel : Komodo dan Masyarakat Berteman Seperti Saudara
Jauh sebelum reptil raksasa ini popular dan dikenal masyarakat dunia, nenek moyang warga desa Komodo telah memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Komodo. Hingga sekarang, penduduk asli masih percaya bahwa Komodo adalah saudara kembar mereka. Kepercayaan ini berakar pada legenda putri Komodo yang menceritakan bahwa zaman dahulu di tanah Komodo telah lahir sepasang makhluk hidup. Yang laki-laki berwujud manusia, sedangkan yang perempuan berwujud Komodo.
Dari legenda ini, lahirlah salah satu nama local Komodo, yaitu sebai yang artinya sebelah, yang dimaknai sebagai saudara kembar. Selain sebai, masyarakat lokal juga menyebut Komodo dengan nama ora. Jika secara historis kita bahkan langsung mengetahui keterkaitan antara Komodo dan masyarakat pulau Komodo itu tersendiri. Namun dalam hal ini, Komodo dan masyarakat pulau Komodo merupakan makhluk hidup yang mempunyai nilai sejarah yang patut kita ketahui dan juga kearifan lokal yang harus dijaga.
Berada di pesisir, membuat Labuan Bajo menyuguhkan pemandangan matahari terbenam yang memesona. Memiliki perbukitan yang tidak jauh dari perairan, travellers pun bisa menyaksikan sunset yang mengagumkan dari Bukit Cinta maupun Bukit Amelia. Potensi wisata labuan bajo dan gugusan pulau didalamnya yang menyimpan kekayaan alam yang begitu melimpah.
Jika sektor pariwisata untuk meningkatkan perekonomian daerah maupun nasional , apakah semua dampak positif ataupun negative telah diperhiungkan. Isu pembaangunan Jurassic park Salah satu kawasan yang akan mengalami perubahan desain secara signifikan adalah Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat. Pulau ini bakal disulap menjadi destinasi wisata premium dengan pendekatan konsep geopark atau wilayah terpadu yang mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan.
“Tujuan utama konsep ini adalah mempromosikan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan dengan mengembangkan potensi yang ada dengan cara yang berkelanjutan,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Di Indonesia agenda Post-2015 mendapatkan tantangannya untuk diuji sejauh mana kemampuannya dalam mengatasi krisis sosial-ekologis yang sudah kadung berurat-akar.
Hal ini dapat kita cermati bahwa krisis sosial-ekologi yang terjadi di Indonesia adalah akibat dari pembangunan yang masih bertumpu pada cara pikir antroposentrik yang menjadikan alam sebagai target sasaran untuk dieksploitasi sedangkan paradigma pembangunan yang berdimensi ekosentrik di mana hubungan antara subyek dan obyek pembangunan bersifat ko-eksistensi masih belum diterapkan sepenuhnya meskipun dalih pembangunan berkelanjutan sudah menggema namun masih pada tataran retorika semata—kalau boleh dikatakan demikian.
Faktanya, krisis lingkungan di Indonesia sudah mengalami kerusakan yang memprihatinkan bahkan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (sebelum digabungkan dengan Kementerian Kehutanan) mengamininya. Misalnya, krisis kerusakan hutan di Indonesia adalah sekian dari krisis sosial-ekologis yang disebabkan oleh orientasi pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan atau sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals [SDGs]) yang selalu digadang-gadangkan oleh PBB.
Pembangunan berkelanjutan adalah pendekatan yang banyak disuarakan akhir-akhir ini. Prinsip berkelanjutan adalah respon dari kerusakan alam akibat pembangunan yang eksploitatif. Sehingga perlu adanya upaya untuk menyelaraskan pembangunan dengan kelestarian lingkungan. Salah satu prinsip yang paling berkembang adalah perspeksitf ekologi manusia, dimana pembangunan harus selaras antara pembangunan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Pembanguna Jurassic park akan membuat masyarakat pulau Komodo tergusur dan tersiksanya Komodo. Dengan konsep pembangunan yang ditawarkan, tentunya menuai banyak penolakan publik dan juga protes keras dari Wahana lingkungan hidup (WALHI) terkait dnengan dampak negative terhadap pembangunan Jurassic park.
Selain berdampak pada habitat Komodo proyek pembangunan juga berdampak pada masyarakat sekitar. proyek tersebut akan membuat masyarakat menjadi terasingkan di tanah kelahirannya sendiri. Dampak pada kehidupan masyarakat lokal di sana yang sudah menyatu dengan kehidupan Komodo.
Komodo dan masyarakat pulau Komodo telah hidup berdampingan sekian lamanya. Hemat penulis “Komodo dan masyrarakat pulau Komodo berteman lebih dari saudara”.
Jika proyek pembangunan Jurassic park terus dilanjutkan. Maka, fenomena adaptasi Komodo dengan habitatnya akan berdampak pada kelangsungan hidup Komodo. Secara alamiah, Komodo merupakan binatang yang liar yang hidup di alam liar. Jangan sampai hewan yang hampir punah ini dipunahkan oleh proyek megah Jurassic park bukannya punah secara alamiah. Komodo adalah binatang yang juga mempumyai hak hidup dengan habitatnya.
Bahkan, fenomena peralihan profesi akan terjadi secara drastic di Komodo menunjukan kemampuan masyarakat beradaptasi menghadapi tekanan regulasi yang berubah cepat. Mereka seolah dipaksa untuk terjun ke industry pariwisata tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Orang-orang ini memperoleh pengetahuan dari pengalaman langsung sebagai penyedia kebutuhan wisatawan. Komodo dan masyarakat pulau Komodo merupakan entitas yang harus dijaga. Oleh sebab itu, pembangunan Jurassic park tidak seharusnya menjadi proyeksi pembangunan yang mengatasnamakan kesejahteraan tapi harus dtinjau kembali dengan melihat seluruh aspek keberlangsungan hidup yang ada di pulau Komodo.
Komodo Dalam Lingkungan
Hak Komodo dengan alam sekitar jika diganggu dengan model pembangunan proyek Jurassic park. Komodo merupakan reptile raksasa yang hampir punah, tetapi jangan sampai kepunahan Komodo disebabkan oleh keinginan manusia terhadap tujuan dan target peningkatan ekonomi tetapi mengabaikan kepentingan berkelanjutan satwa ini.
Walaupun Komodo adalah binatang tetapi memiliki hak hidup, hak berinteraksi sosial dengan jenis ekosistem lain, hak melakukan perkembabiakan dengan cara alami sesuai dengan komunitas habitanya. Sebagai diungkap Richard Ryder, seorang penulis dan psikolog dari Inggris adalah salah satu orang yang mempulerkannya.
Ia menciptakan istilah speciesisme untuk menggambarkan orang-orang yang mendukung berhentinya objektifikasi pada binatang. Paham ini mempercayai kalau binatang tak seharusnya dipandang hanya sebagai properti pemuas kebutuhan manusia, seperti dijadikan makanan, pakaian, subjek penelitian, hiburan, atau selalu dicap sebagai sesuatu yang mengerikan atau dikesampingkan hak hidupnya.
Dalam bukunya Painism: A Modern Morality (2001), Ryder menggambarkan bahwa rasa sakit adalah salah satu indikator mengukur moralitas di era sekarang. Jika manusia enggan dilukai dan merasa sakit, maka binatang juga demikian, sebab keduanya adalah makhluk hidup yang dapat merasakan pain atau kesakitan.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Ekowisata
Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai subyek dan obyek pembangunan, keterlibatan dalam tahap pembangunan ini dimulai sejak tahap perencanaan sampai dengan pengawasan berikut segala hak dan tanggungjawabnya (Kamus Tata Ruang, 1998:79).
Pendekatan partisipasi masyarakat telah dianjurkan sebagai sebuah bagian utuh pembangunan pariwisata berkelanjutan (Okazaki, 2008). Ekowisata selalu menekankan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaannya. Fungsi-fungsi utama ekowisata adalah perlindungan wilayah-wilayah alami, penciptaan keuntungan, pendidikan dan partisipasi masyarakat lokal dan pembangunan masyarakat (Ross dan Wall, 1999).
Ekowisata harus melibatkan masyarakat lokal, menyalurkan keuntungan ekonomi bagi perlindungan lingkungan setempat, dan berkontribusi bagi pemeliharaan keanekaragaman spesies-spesies lokal dengan meminimalisir dampak pengunjung serta mempromosikan pendidikan bagi wisatawan (Hill dan Hill, 2011).
Sementara Keith Davis dalam Sastropoetro (1988:16), bentuk-bentuk partisipasi meliputi yakni :
1. Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa
2. Sumbangan spontan berupa uang dan barang
3. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari pihak ketiga
4. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat
5. Sumbangan dalam bentuk kerja
6. Aksi massa
7. Mengadakan pembangunan di kalangan keluarga
8. Membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom.
Adapun jenis-jenis partisipasinya meliputi: 1). pikiran
2). tenaga
3). pikiran dan tenaga
4). keahlian
5). barang
6). uang.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu faktor yang mendorong dan faktor yang menghambat. Penelitian Wang, Pfister dan Morais (2006) menemukan bahwa masyarakat lokal yang menyadari akan potensi manfaat dari pariwisata adalah faktor yang mempengaruhi mereka dalam meningkatkan partisipasi dalam pariwisata.
Tosun (2000) mengidentifikasi tiga hal utama yang menghambat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan pariwisata dalam konteks negara berkembang, yaitu:
1. Keterbatasan operasional (operational limitations), yang meliputi pemusatan administrasi publik dalam bidang pariwisata, kurangnya koordinasi, dan kurangnya informasi.
2. Keterbatasan struktural (structural limitations), diantaranya attitudes of professionals, kurangnya keahlian, dominasi elit, kurangnya peraturan yang sesuai, kurangnya sumber daya manusia terlatih, tingginya biaya partisipasi masyarakat, dan kurangnya sumber-sumber pendanaan.
3. Keterbatasan kebudayaan (cultural limitations), meliputi: kapasitas yang terbatas dalam masyarakat miskin, dan sikap apatis dan tingkat kesadaran yang rendah dalam komunitas lokal.
4. Manfaat Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata adalah perlu apabila mereka diberikan pembagian keuntungan yang adil bagi ekonomi lokal (Aref dan Ma’arof, 2008).
Beberapa manfaat ekonomi yang komunitas lokal dapat peroleh dari ekowisata adalah peluang kerja, pembangunan yang berhubungan dengan infrastruktur (seperti jaringan jalan yang lebih baik dan air) dan usaha ekowisata (Ezebilo, dkk., 2010).
Fakta bahwa orang asing bepergian jauh untuk mengunjungi sebuah komunitas dan masyarakat lokal mendapatkan keuntungan dari hal tersebut dapat meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap sumber daya alami mereka. Rasa kebanggaan ini JUMPA Volume 2 Nomor 1 Juli 2015 5 Partisipasi Masyarakat Desa Komodo dalam Pengembangan Ekowisata di Pulau Komodo membuat anggota masyarakat tersebut mengkonservasi lingkungan mereka (Scheyvens, 2002).
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata berdampak positif terhadap terpeliharanya lingkungan dimana ekowisata tersebut diselenggarakan. Partisipasi masyarakat dalam ekowisata dapat membuat sebuah promosi yang positif bagi perlindungan lingkungan ekowisata (Bansal dan Kumar, 2013).
Santosa dan Heroepoetri (2005: 5) merangkum manfaat dari partisipasi masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1. Menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab.
2. Meningkatkan proses belajar.
3. Mengeliminir perasaan terasing
4. Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah
5. Menciptakan kesadaran politik
6. Keputusan dari hasil partisipasi mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat
7. Menjadi sumber dari informasi yang berguna, dan
8. Merupakan komitmen
Dalam Penelitian : Rafel Modestus Ziku – Partisipasi Masyarakat Desa Komodo Dalam Pengembangan Ekowisata Di PULAU Komodo (2015).