Warga Semau Mengeluh Rusaknya Rumput Laut pada Senator Medah

 Ket Foto; Senator Ibrahim Agustinus Medah ketika berdialog dengan Kepala Desa Uitutuan dan warga di kebun pembibitan ubi ungu di Desa Uitiutuan, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Kamis (12/11/2015)

Ket Foto; Senator Ibrahim Agustinus Medah ketika berdialog dengan Kepala Desa Uitutuan dan warga di kebun pembibitan ubi ungu di Desa Uitiutuan, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Kamis (12/11/2015)

Kupang, Savanaparadise.com,- Masyarakat petani ruput laut di pesisir pantai Pulau Semau Kabupaten Kupang mengeluh kepada senator/anggota DPD RI asal NTT Drs. Ibrahim Agustinus Medah lantaran bibit rumput laut yang dibudidayakan warga rusak akibat dan tidak bisa dipanen.

Selain mengeluh tentang bibit rumput laut yang rusak, warga Pulau Semau juga mengeluh soal anjloknya harga rumput laut di pasaran. “Rumput laut yang kami budidaya akhir-akhir ini mulai rusak dan harga rumput laut juga turun terlalu jauh. Kami minta bantuan Bapak Ibrahim Medah untuk mengatasi kesulitan yang kami hadapi ini,” ujar Samuel Lasi, Kepala Desa Uitiutuan, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, di Semau, Kamis (12/11/2015) ketika Ibrahim Agustinus Medah melakukan kunjungan ke wilayah itu dalam rangka reses anggota DPD RI.

Bacaan Lainnya

Tidak hanya itu, warga setempat juga tengah mengembangkan ubi ungu yang merupakan kerja sama antara masyarakat dengan LSM Cis Timor dan meminta bantuan senator Ibrahim Agustinus Medah untuk membantu memperbanyak bibit ubi ungu itu untuk ditanam di seluruh wilayah Pulau Semau karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

“Kami terpaksa membeli bibit ubi ungu ini dengan harga yang mahal karena memang kami sangat butuh. Apalagi jika ubi ini ditanam dengan benar maka berat umbinya bisa mencapai 7-8 kilo gram tiap pohon,” kata Kepala Desa Batuinan, Apner Yopi Pallo.

Menanggapi sejumlah keluhan itu, Ibrahim Medah mengatakan, ada dua jenis rumput laut yang dikembangkan selama ini di NTT yaitu cottony dan spinusum. Dijelaskannya, yang mengalami banyak kerusakan adalah jenis cottony dan menurut penelitian, jika dua jenis ini yaitu cottony dan spinisum jika ditanam bersamaan maka cottony akan rusak atau pertumbuhannya menjadi lambat.

“Kalau dua-duanya ditanam sama-sama maka jenis spinusum akan lebih subur karena jenis ini sifatnya lebih rakus sehingga lebih banyak menyerap nutrisi di laut dibandingkan dengan cottony sehingga membuat cottony tidak bisa bertahan hidup dan akan mati,” katanya.

Itu pasalnya, Medah yang dikenal sebagai pelopor pengembangan rumput laut di NTT itu mengingatkan para petani bahwa langkah pertama yang harus diambil oleh petani rumput laut adalah memisahkan lokasi budidaya antara cottony dan spinisum. “Harus dipisahkan antara kedua jenis ini dan cara pisahkannya yang jauh,” jelasnya.

Mantan Bupati Kupang dua periode ini juga mendesak para Kepala Desa dan Camat untuk terlibat aktif membantu petani dengan menentukan lokasi mana di laut yang ditanam cottony dan spinisum yang harus dipisahkan.

Medah menambahkan, langkah lain yang akan ditempuh yaitu akan mendatangkan bibit baru jenis cottony untuk dibagikan kepada para petani untuk dikembangkan. “Saya akan datangkan bibit baru yang khusus untuk dibagikan kepada petani di Pulau Semau. Dan karena harus diangkut dengan pesawat dan tiap kali penerbangan tidak bisa mengangkut dalam jumlah yang besar. Tapi ingat, bibit yang baru itu juga tidak boleh ditanam gabung dengan jenis spinisum,” jelasnya.

Terkait harga rumput laut yang anjlok saat ini, Medah mengatakan, harga pasar dunia memang sedang anjlok sehingga ia menyarankan untuk harus cepat dijual. “Jangan tunggu sampai mahal, berapapun harganya dijual saja. Kalau uang kurang tambah talinya di laut sehingga menambah hasil panen. Ini harga bukan dimainkan oleh pengumpul, ini semata karena harga pasar dunia yang mempengaruhinya,” katanya.

Terkait pengembangan ubi ungu yang kini marak di Pulau Semau, Medah mengapresiasi upaya masyarakat yang bekerja sama dengan LSM Cis Timor. “Saya berupaya semaksimal mungkin untuk membantu memperbanyak bibit ubi ungu ini untuk dikembangkan dalam skala besar di seluruh NTT. Ubi ungu ini punya potensi ekonomi yang sangat besar,” katanya.

Mantan Ketua DPRD NTT ini menambahkan, mestinya pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten memanfaatkan APBD yang dimiliki yang sebagian besarnya bersumber dari APBN itu dimaksimalkan untuk mengangkat potensi yang ada pada masyarakat untuk dikembangkan oleh masyarakat.

“Jika APBD yang sekitar 90-95 persen bersumber dari APBN itu dimanfaatkan dengan baik, dan dengan maksimal, maka potensi yang ada di masyarakat digali untuk mendongkrak ekonomi yang masyarakat agar membawa kemajuan bagi masyarakat,” jelasnya.(SP)

Pos terkait