Penyelenggara dan Pengawas Pemilu Hilang Fokus, Pemilu 2024 Terburuk Sejak Reformasi 

Jakarta, Savanaparadise.com- Penggelembungan suara salah satu paslon (25%), tidak boleh mencoblos (11%) dan salah input data di platform rekapitulasi Sirekap milik Komisi Pemilihan Umum (11%) merupakan tiga dugaan pelanggaran terbesar yang Jaga Pemilu temukan.

 

Bacaan Lainnya

Rusdi Marpaung, Divisi Advokasi dan Hukum Jaga Pemilu, mengatakan, pelanggaran- pelanggaran lainnya yang cukup signifikan adalah, politik uang (9%), pencoblosan ilegal (7%), bermasalahnya Daftar Pemilih Tetap (6%) dan upaya membatasi pengawas Pemilu bekerja (6%) serta pelaksanaan pencoblosan yang bermasalah (5%).

 

“Sebelum pencoblosan sudah banyak masalah, mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi, masa kampanye, pendaftaran dan netralitas aparat. Tak heran jika pada hari pencoblosan banyak lagi masalahnya. Ini menunjukkan bahwa para penyelenggara dan pengawas Pemilu kehilangan fokus. Ini yang membuat pemilu 2024 menjadi yang terburuk sejak reformasi,” ujar Rusdi dalam konferensi pers yang digelar Perkumpulan Jaga Pemilu di Jakarta, Sabtu (24/2/2024).

 

Turut hadir berbagi temuan pelanggaran dalam konferensi pers ini adalah Trisna Dwi Yuni, peneliti Migrant Care; Feri Amsari, pendiri Kecurangan Pemilu; Okky Madasari, pendiri OM Institute; Ismail Fahmy pendiri Drone Emprit. Bertindak selaku moderator adalah Wahyu Susilo, Direktur Migrant Care serta penanggap, Yanuar Nugroho, pengajar STF Driyarkara.

 

Rusdi mengatakan, data diperoleh dari 11 ribu Penjaga dan relawan Pemilu yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang memasok data rekapitulasi suara dan dugaan pelanggaran dari 1000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan berupaya mengawalnya sampai kecamatan.

 

Dugaan yang Jaga Pemilu kumpulkan kemudian dilaporkan ke Bawaslu dengan melengkapi informasi dasar yang diminta Bawaslu. “Sampai saat ini JP sudah melaporkan 207 dugaan pelanggaran. Dari jumlah itu, satu sudah ditindaklanjuti di mana KPU Makassar berkomunikasi dengan kami perihal dugaan itu,” kata Rusdi.

 

Menurut Trisna Dwi Yuni Aresta dari Migrant Care, pihaknya telah empat kali melaporkan temuan dugaan pelanggaran ke Bawaslu. Namun keempatnya berujung pada penolakan via surat yang menyatakan laporan mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat materiil.

 

“Keempat laporan itu adalah dugaan pelanggaran terkait data pemilih ganda di New York dan Johor Bahru, insiden hadirnya calon legislatif Uya Kuya yang datang ke WTC Kuala Lumpur pada hari pencoblosan – di mana Ketua Bawaslu Rachmat Bagja dan komisioner lainnya hadir di lokasi – dan adanya spanduk calon legislatif Tengku Adnan yang menempel di Kotak Suara Keliling di Malaysia,” katanya.

 

Migrant Care mendorong agar KPU mengaudit logistik metode pos yang banyak menghilangkan surat suara dan buang banyak biaya. Apalagi metode pos sering jadi alat perdagangan surat suara karena pengiriman metode pos tidak bisa ditelusuri.

 

“Di Hongkong misalnya, hanya 41 persen pemilih yang bisa menggunakan hak suaranya. Jumlah itu berkurang lagi karena pengguna hak pilih metode TPS (31%) ataupun metode pos (31%) hanya sebagian. Dari jumlah yang kurang, itu pun berkurang lagi dimana ada 49% yang tidak digunakan (kembali ke pengirim) atau tidak dikembalikan,” katanya.

 

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan, berdasarkan temuan dari kecuranganpemilu.com, terjadi penggelembungan suara di 16 provinsi dan 83 kabupaten kota di seluruh Indonesia.

 

“Penggelembungan suara ini terjadi cukup merata di berbagai TPS di seluruh Indonesia. Kami mempertanyakan sistem Sirekap yang tetap menerima suara dari TPS di atas 300 suara padahal batasan suara di tiap TPS maksimal 300 suara. Seharusnya, sistem bisa menolak kalau ada TPS yang jumlahnya lebih dari 300 suara,” ungkap Feri.

 

Menurut Ismail Fahmi, seminggu sebelum dan sesudah Pemilu, masyarakat masih terus membicarakan tentang kecurangan Pemilu, yang bukan hanya media sosial tapi juga media online. Yang mendominasi (75%) adalah narasi negatif seperti adanya tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif dalam pemilu, potensi penggunaan hak angket dan pemakzulan presiden terkait dugaan kecurangan dan manipulasi dalam penghitungan suara dan quick count.

 

Hak angket

 

Para pemantau Pemilu independen dari masyarakat sipil pun mendukung dilakukannya audit menyeluruh terhadap platform Sirekap dan proses rekapitulasi suara. Selain itu, mereka juga mendukung berjalannya hak angket guna menyelidiki dugaan terjadinya kecurangan pada pemilu 2024. Hak angket dinilai sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia.

 

“Ada beberapa inisiatif yang saat ini tengah bergulir salah satunya adalah hak angket. Kalau kita berpegang pada nilai dan juga gagasan ideal tentang Indonesia yang lebih demokratis, hak angket ini perlu didukung. Peran masyarakat sipil harus terus didorong agar hak angket bisa dijalankan oleh DPR,” kata Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara, Jakarta.

 

Yanuar menambahkan, apabila DPR tidak menjalankan hak angket maka kecurangan yang terjadi di pemilu kali ini bisa dijadikan panduan oleh penguasa. Penguasa di masa yang akan datang akan menggunakan kecurangan yang terjadi di Pemilu 2024 ini sebagai panduan atau playbook yang diulang di pilkada bulan September kelak.

 

Pendiri Omong-omong Media dan OM Institute Okky Madasari mengungkapkan, hak angket adalah langkah sah yang harus ditempuh dalam sistem politik.

 

“Kalau sampai hak angket ini gagal maka kita semua harus mempertanyakan lagi fungsi DPR sebagai pengawas pemerintah. Ini saatnya parpol membangun kredibilitas sebagai mesin politik yang bekerja untuk kepentingan rakyat dengan menjalankan hak angket. Karena hak angket ini bukan hanya masalah kecurangan di Pemilu, tapi juga untuk menjaga demokrasi Indonesia di masa yang akan datang,” ungkap Okky.(SP)

Pos terkait