Demikian yang disampakan Thomas Ola,salah satu pengamat ekonomi NTT dalam diskusi ahkir pekan Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Kupang pada hari Jumat, (2/10/2015) bertempat di Margasiswa PMKRI Jl.Jend.Soeharto-Kupang. Thomas mengatakan bahwa hari ini, lebih kurang 10 bulan, para pelaku bisnis di indonesia melewati hari hidupnya dengan penuh kekwatiran, kegelisahan, bahwa ekonomi indonesia akan mengarah kepada krisis ekonomi yang berdampak kepada berbagai segi kehidupam berbangsa dan bernegara, bahkan lebih dasyad dari krisis ekonomi tahun 1998. Hari ini nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dibuka melemah dan mencapai Rp. 14.700,- kegelisahan para pelaku bisnis sudah pasti terus berlanjut.
Pertanyaan hari ini adalah pantaskah kekhawatiran itu terus berlanjut? Ada beberapa fakta empiris yang dapat menghantar kita untuk menjawab pertanyaan tersebut. Minimal ada dua perspektif yang memicu pelemahan rupiah hingga hari ini. Pertama, Sentimen Eksternal, sejak aahkir tahun 2014, perekonomian AS tumbuh positip 2,3%. Ini indikasi bahwa orang AS akan hidup lebih baik dari sebelumnya. Konsekuensinya permintaan terhadap mata uang Negara Adidaya itu meningkat. Dolar terus mengalir ke AS hingga hari ini, dipicu lagi dengan rencana bank sentral AS, The Fed, menaikan tingkat suku bunga acuannya. Justru yang menggegerkan dunia hingga hari ini adalah pengaruh psikologis yang dimainkan oleh segelintir spekulan pasar uang bahwa The Fed akan menaikan tingkat suku bunga acuannya.
Penantian panjang itu sia-sia karena sampai dengan September 2015 The Fed memutuskan untuk tidak menaikan suku bungan acuannya. Penantian panjang itu juga membawa beberapa konsekuensi, setidaknya hampir semua mata uang di dunia terdepresiasi atau didepresiasi, bahkan banyak Negara terdepresiasi dengan tingkat yang masih jauh lebih aman dibandingkan Negara lainnya. Tetapi para pelaku bisnis dengan tingkat pengetahuan yang minim terus terbawa pengaruhya spekulan pasar uang karena mereka sendiri adalah bahagian dari spekulan itu sendiri.
Inilah tantangan terberat ekonomi indonesia, tantangan terberat Jokowi-JK terhadap spekulan di negrinya sendiri. Hasilnya sampai hari ini ekspor indonesia yang seharusnya mengikuti teori ekonomi untuk surplus karena melemahnya nilai tukar rupia terhadap dolar AS, retus mengalami fluktuasi hingga saat ini. Dampaknya berlanjut kepada empat neraca Negara, yaitu neraca perdagangan, neraca pembayaran, neraca transaksi berjalan dan neraca APBN semuanya berfluktuasi. Tetapi kita tidak boleh kwatir.
Kedua,Sentimen Internal, pelemahan rupiah terlambat diantisipasi seluruh pemangku kepentingan di indonesia sehingga tidak mendorong ekspor, malah dorongan kepentingan di indonesia sehingga tidak mendorong ekspor, malah dorongan terhadap impor terus bertambah. Inilah yang menyebabkan beberapa bisnis yang bergerak di bidang industri dengan menggunakan bahan baku impor dengan terpaksa melakukan PHK terhadap tenaga kerjanya. Apakah ini artinya krisis ekonomi? Mungkin lebih keren adalah Ekonomi Indonesia Sedang Menderita Sakit. Tetapi Tidak Krisis.
Beberapa indikator macro ekonomi yang dapat menjadi alasan kuat terhadap fenomena itu adalah : perekonomian Indonesia tetap tumbuh positip sampai dengan triwulan tiga ini. Inflasi pada bulan September tercatat 0.05%. Cadangan devisa kita masih tumbuh positip dan dapat membiayai impor sampai dengan bulan kedepan dan dapat mampu membayar hutang pemerintah sampai dengan lima bulan ke depan. Dengan demikian, maka tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan akan terjadi krisi ekonomi.
Pemahaman perlu dibangun dan disosialiasikan kepada seluruh pemangku kepentingan bangsa ini adalah bahwa indonesia adalah Negara besar. Negara yang kaya akan sumber daya alam. Kita percaya bahwa pemerintahan Jokowi-JK mampu mengatai masalah ini, mampu mengolah SDA yang kaya raya ini untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Mahasiswa yang tergabung dalam PMKRI sangat antusias melontarkan pertanyaan satu per satu. Hal ini membuktikan bahwa mereka peduli akan persoalan yang terjadi pada bangsa ini.