Belum Semua Capres-Cawapres Perlihatkan Dukungan terhadap Perdagangan Karbon

Jakarta, Savanaparadise.com,- Indonesia sudah memulai perdagangan karbon ketika Presiden Joko Widodo membuka bursa karbon pada September lalu. Bursa karbon merupakan kontribusi Indonesia dalam perjuangan melawan krisis iklim.

Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden juga memasukkan perdagangan karbon dalam visi dan misi mereka. Namun, peneliti karbon Carbonethics Ahmad Hidayat mengungkapkan, belum semua capres-cawapres memperlihatkan dukungan terhadap perdagangan karbon.

Bacaan Lainnya

“Dari tiga calon ini, sebenarnya yang paling medukung untuk perdagangan karbon adalah Ganjar Pranowo. Karena, dari visi-misi dan trajectory orang-orang di belakang tim kampanyenya memang pro terhadap perdagangan karbon. “Kalau Prabowo, semua orang sudah tahu konsep nasionalisme dia. Kadang konsepnya bertabrakan dg konsep lain, belum pas untuk dunia usaha misalnya. So far yang agak di tengah, belum terlalu clear adalah Anies. Walaupun dalam analisa dokumen visi-misinya, kita akui itu paling komprehensif dan paling pro lingkungan dibandingkan capres yang lain. Tapi, dalam analisa kita ada juga siapa orang-orang di belakangnya, karena good on papers belum tentu good in execution,” ujar Ahmad dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Ahmad menjelaskan, paslon Anies-Muhaimin berupaya menyeimbangkan kolaborasi pemerintah dan masyarakat. Paslon Prabowo-Gibran berkonsentrasi pada mitigasi dan pencegahan kerusakan lingkungan melalui pendekatan nasionalis. Sedangkan paslon Ganjar-Mahfud MD menekankan mekanisme pasar dalam pengelolaan iklim.

Menurut Ahmad, di semua kubu capres ada aktor-aktor yang punya kepentingan. Tapi, yang paling kentara adalah kubu Ganjar dan kubu Prabowo. Ini dilihat dari visi-misi dan latar belakang orang-orang di belakang tim kampanye kedua pasangan calon ini yang pro terhadap perdagangan karbon, di mana perdagangan karbon dilihat sebagai alternatif untuk penyelesaian masalah iklim, seperti pengurangan emisi.

“Tapi, sejauh mana mereka mem-visikan dari perdagangan karbon itu belum ada. Dan, memang biasanya dokumen visi-misi itu tidak akan sampai detail secara teknis. Tapi, ide besarnya ada pada dua capres ini. Terutama Ganjar yang sudah sampai membicarakan insentif untuk pihak swasta pelaku perdagangan karbon,” kata Ahmad.

Sedangkan Anies, tambah Ahmad, berada di tengah, antara pasar dan pemerintah. Dokumen visi-misinya dibaca paling komprehensif dan paling pro-lingkungan dibandingkan capres yang lain.

“Mungkin karena latar belakangnya sebagai akademisi yang unggul dalam naskah akademik. Tapi posisinya konservatif, jadi, tidak bisa 100% ke pasar. Dorongan ke arah perdagangan karbon terbatas. Namun, dalam visi-misinya ada juga ke arah sana,” ujar Ahmad.

Untuk Prabowo, dokumen visi-misinya lebih banyak menekankan tentang peran sentralistik pemerintah dan nasionalisme. Ada kecenderungan kontrol negara yang sangat luas, yang bisa diartikan memberi peluang bagi kelompoknya sendiri.

Peneliti Carbonethics Hansen Sukma menambahkan, saat menjadi Gubernur, Ganjar punya pengalaman mengembangkan proyek energi terbarukan dan transisi energi, serta berkolaborasi dengan Norwegia.

Sementara Anies tidak terlalu teknis dalam hal perdagangannya, tapi lebih kepada kolaborasi internasional. Sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta ia terlibat dalam forum kota-kota global memerangi perubahan iklim.

“Memang sulit kalau melihat ketiga calon, yang belum bisa dilihat itu dari Prabowo. Sebab, dia sendiri tidak pernah menjabat sebagai kepala daerah, sehingga kinerja dia sangat terbatas untuk merambah pasar karbon ataupun regulasi-regulasi yang terkait dengan isu lingkungan,” kata Hansen.

“Jadi, jika bisa disimpulkan, memang Ganjar itu punya fleksibilitas yang lebih tinggi terhadap pasar ketika memandang isu lingkungan. Pelibatan sektor privat soal isu lingkungan kemungkin akan lebih banyak.”

“Sementara Anies, akan lebih kontrol. Kita bisa lihat dari berbagai statement-nya, dia akan selalu melakukan re-alokasi anggaran untuk pembangunan yang sifatnya soft infrastructure atau hard infrastructure. Jadi, pada akhirnya, pemerintah akan lebih banyak berperan dalam perdagangan karbon,” pungkas Hansen.(SP)

Pos terkait