Kupang, Savanaparadise.com,- Kuasa hukum Yusinta Ningsih Nenobahan, Fransisco Bernando Bessi, S.H., M.H., C.Me., CLA., mengecam keras fitnah yang menyeret nama kliennya dalam isu dugaan penipuan proyek fiktif senilai Rp7 miliar yang mengatasnamakan Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Fransisco menegaskan, pihaknya telah menginventarisasi sejumlah akun media sosial, baik yang menulis di Kompasiana, Instagram, Facebook, maupun TikTok, serta yang ikut menyebarkan tuduhan tidak berdasar terhadap Yusinta. Bahkan, sebagian besar menggunakan akun anonim atau palsu.
“Dalam waktu dekat kami akan melaporkan secara resmi ke Polda NTT untuk mengungkap siapa pelaku di balik fitnah ini. Kami tidak akan tinggal diam, karena ini sudah keterlaluan,” tegas Fransisco, Jumat (3/10/2025).
Ia menilai, fitnah semacam ini sangat tidak sehat bagi iklim demokrasi di Indonesia. Menurutnya, alih-alih mengedepankan gagasan dan ide, pihak-pihak tertentu justru menyerang dengan cara keji melalui fitnah dan teror.
“Ini ironis, ada seorang anak asli daerah yang tulus ingin membangun NTT, khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), malah diserang dengan fitnah. Cara-cara seperti ini tidak boleh dibiarkan,” lanjutnya.
Fransisco berharap aparat penegak hukum segera bertindak, agar kasus serupa tidak terulang di masa depan. Ia menegaskan, langkah hukum ini ditempuh untuk menjaga marwah kliennya sekaligus memberikan pelajaran bagi pihak-pihak yang gemar menyebarkan kabar bohong.
“Ini perlu digarisbawahi agar tidak terjadi lagi ke depan. Demokrasi seharusnya menjadi ruang untuk adu gagasan, bukan ajang pembunuhan karakter,” tegas Fransisco.
Sebelumnya, Yusinta Ningsih Nenobahan dengan tegas membantah tudingan keterlibatannya dalam dugaan penipuan proyek fiktif senilai Rp7 miliar yang mengatasnamakan Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Ia menilai kabar yang beredar melalui sebuah tulisan di Kompasiana itu hanyalah fitnah yang sengaja digulirkan untuk merusak nama baik dan menjatuhkan dirinya di ruang publik.
Tudingan tersebut ditemukan sendiri oleh Yusinta Nenobahan dalam tulisan di Kompasiana yang merupakan situs jurnalisme warga. Menurut Yusinta, isu tulisan dalam situs tersebut jelas-jelas merupakan narasi sesat yang dikembangkan pihak-pihak tertentu untuk membunuh karakternya.
“Saya tidak pernah melakukan penipuan, apalagi dengan mencatut nama Kemenhan. Tuduhan itu bohong dan mencemarkan nama baik saya maupun keluarga saya,” tegas Yusinta, Kamis (2/10/2025).
Yusinta juga menekankan bahwa Kemenhan adalah institusi resmi negara yang dipimpin oleh seorang purnawirawan TNI dan diisi oleh prajurit aktif yang bekerja dengan tulus untuk bangsa. Karena itu, menurutnya, mustahil ia berani menggunakan nama Kemenhan untuk kepentingan pribadi.
Lebih lanjut, Yusinta merasa ada pihak-pihak tertentu yang bekerja dalam diam untuk melakukan degradasi terhadap dirinya. Saat ini ia tengah berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menjalankan sejumlah kegiatan kemanusiaan, namun justru dituding secara sepihak.
“Mungkin bagi yang menuding, tujuan mereka adalah mendiskreditkan saya untuk maksud politik tertentu. Saya mengingatkan agar pihak-pihak yang ingin membuat kekisruhan berhenti membangun narasi menyesatkan,” ujarnya.
Ia menegaskan, kehadirannya di NTT bukan dalam rangka investasi politik masa depan, melainkan panggilan hati untuk berbuat bagi kampung halaman.
“Kegiatan kemanusiaan yang saya lakukan di NTT jangan dipandang sebagai agenda politik. Saya datang karena terpanggil. Ini tanah kelahiran saya, dan di sinilah saya ingin bermanfaat bagi sesama,” kata Yusinta.
Natalia Rusli Pernah Jadi DPO
Pelapor Yusinta Ningsih Nenobahan, Natalia Rusli, diketahui memiliki rekam jejak hukum yang kontroversial. Namanya kerap dikaitkan dengan sejumlah kasus, bahkan sempat masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kepolisian atas dugaan penipuan.
Kasus yang tersorot media adalah keterlibatannya dalam investasi bodong KSP Indosurya. Natalia dilaporkan oleh seorang korban bernama Verawati Sanjaya yang mengaku ditipu sebesar Rp45 juta. Saat itu, Natalia menjanjikan pengembalian dana dengan skema 40 persen tunai dan 60 persen dalam bentuk aset koperasi. Berkas perkara tersebut dinyatakan lengkap (P21) dan dilimpahkan ke Kejaksaan.
Natalia sendiri sempat buron hingga masuk dalam daftar DPO sebelum akhirnya menyerahkan diri. Dalam proses persidangan, ia dituntut hukuman penjara selama satu tahun tiga bulan.
Selain kasus Indosurya, nama Natalia juga muncul dalam sejumlah laporan lain dengan pola serupa. Beberapa korban mengaku menyerahkan dana dengan janji bantuan “mengurus” penyelesaian perkara, namun hasilnya tidak sesuai harapan. Situasi ini membuat namanya berulang kali menjadi sorotan dalam pemberitaan hukum.
Tidak berhenti di situ, Natalia sempat melaporkan balik aparat penegak hukum ke Komisi Kejaksaan dengan alasan dirinya dikriminalisasi sebagai advokat. Ia menuding proses hukum yang menjeratnya penuh kejanggalan dan merugikan profesinya. Meski demikian, laporan tersebut tidak menghentikan jalannya proses pidana yang tetap bergulir. (*/)