Pidato HUT Ke-80 RI, Bupati Badoeda Sebut Angka Kemiskinan Di Ende Capai 22,7 Persen

Bupati Ende, Yosef Benediktus Badeoda saat menyampaikan pidato pada HUT ke-8 RI, di Lapangam Pancasila Ende, (Foto: Chen Rasi/SP)

Ende, Savanaparadise.com,- Bupati Ende, Yosef Benediktus Badeoda menyebut angka kemiskinan di Kabupaten Ende mencapai 22,7 persen dan masuk dalam kelompok daerah 3T (Tertinggal, Terluar, Terdepan) serta urutan ke-10 sebagai daerah termiskin di NTT.

Bupati menyebut itu dalam pidato resminya pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 kemerdekaan Republik Indonesia berdasarkan catatan statistik, di Lapangan Pancasila Ende, Minggu, (17/8/25).

Bacaan Lainnya

Menurut Bupati, jikalau berkaca pada perkembangan Kabupaten Ende 25 tahun terakhir, Ende merupakan salah satu kabupaten paling tua di Flores, namun bilamana disandingkan dengan kabupaten lain, Ia mengatakan Ende masih ketinggalan jauh dalam segala aspek.

Bupati mengungkapkan, apabila dilihat dari fakta sosial kemasyarakatan, kondisi kabupaten Ende khususnya, di Desa-desa dan Dusun masih banyak kehidupan masyarakat yang belum merdeka.

“Kita masih mendengar nyanyian sedih masyarakat yang tidak punya akses jalan dan listrik. Apabila kita ingin refleksi 80 tahun kemerdekaan RI di Kabupaten Ende, maka kita harus mengakui bahwa batin, pikiran dan fisik kita masih sakit atau belum merdeka”, ujar Bupati Badeoda.

“Kenapa Bathin kita sakit?, tanya Bupati.

Menurutnya, sebagai kota rahim Pancasila semestinya kehidupan toleransi orang Ende harus betul-betul Pancasilais., Namun semuanya tak sesuai harapan bersama. Apa makna Pancasila atau apa arti toleransi?. Bupati menjelaskan, maksud dari toleransi atau pun Pancasila adalah memberikan ruang hidup dan memberi tempat bagi semua keyakinan untuk tampil secara otentik, tanpa rasa takut atau bersalah.

“Pancasila adalah harmoni dari warna-warna terang iman, budaya, dan ekspresi masyarakat yang berbeda. Pancasila sendiri lahir dari refleksi religius Bung Karno sambil berdialog dengan realitas budaya lokal. Dalam sejarah Indonesia, ekspresi religius dan kebangsaan bukan dua hal yang saling meniadakan. Mereka justru tumbuh beriringan”, tandasnya.

Di bumi rahimnya Pancasila ini, menurut Bupati, ekspresi religius bertumbuh beriringan dengan ekspresi budaya. Oleh karena itu, ia menyarankan masyarakat tidak perlu takut simbol agama orang lain tampil ke ruang publik karena di bumi rahimnya Pancasila ini semua agama diberi ruang untuk tampil. Tidak ada yang didominasi, tidak ada yang dihapus atau dilarang.

“Kalau kita masih takut dengan simbol agama lain maka yang salah ada di pikiran dan otak kita. Toleransi bukan soal membungkam simbol iman orang lain. Toleransi adalah kemampuan untuk duduk berdampingan meski berbeda peralatan dapur, dan tetap menikmati sajian hidup bersama tanpa perlu mengusik resep orang lain”, kata dia.

“Melalui peringatan kemerdekaan hari ini, kita semua diingatkan bahwa keberagaman hanya akan tumbuh sehat jika setiap ekspresi, setiap nama, setiap simbol bisa tampil dengan percaya diri. Di bumi Rahim Pancasila ini. Semua sajian dari semua iman punya tempat yang sama. Bila kita masih belum menerima ini, maka yang sakit adalah bathin kita yang belum sembuh atau belum merdeka”, tegas Bupati.

Pertanyaan berikutnya kenapa Pikiran kita yang Sakit?

Bupati mengatakan, hingga saat ini kondisi Ende masih miskin padahal setiap tahun Kabupaten Ende selalu digelontorkan anggaran dari pusat sebesar 1,3 triliun, bahkan dermawan kaya juga telah menyuntikan dana triliunan, namun hasilnya masih nihil. Jawabannya terletak pada tiga level kemiskinan yang disorot oleh Bishop Justice Kojo Bentil.

Dari ketiganya itu, kata Bupati, tidak bisa diatasi dengan uang seberapa banyak pun jumlahnya, pertama, kemiskinan sebagai Keadaan Mental (Poverty is the state of your mind). Banyak orang hidup miskin bukan karena tidak memiliki uang, tetapi karena banyak orang berpikir miskin.

“Mereka selalu terbiasa dengan pola pikir “asal cukup hari ini”, tidak punya visi masa depan, dan tidak diajarkan untuk memikirkan leverage, nilai tambah ekonomi, atau pertumbuhan jangka panjang. Ketika uang datang, ia langsung habis untuk konsumsi-bukan investasi. Contoh nyata: Seorang petani miskin diberi bantuan uang tunai, tetapi langsung digunakan untuk membeli motor baru atau handphone mahal”, tutur Bupati.

“Tidak ada usaha untuk membeli alat pertanian modern atau menyewa lahan produktif tambahan. Hasilnya? Kemiskinan kembali dalam waktu singkat”, tambahnya.

Kedua, sebut Bupati, Kemiskinan sebagai Kerapuhan Spiritual (Poverty is the state of your spirit).

Bupati menjelaskan, pada level ini lebih dalam dan lebih berbahaya. Orang-orang dalam kategori ini kehilangan semangat juang, tidak punya motivasi untuk berubah, dan menyerahkan nasib nya pada takdir atau bantuan pemerintah. Orang-orang pada level ini, tambah dia, tidak percaya terhadap kesuksesan yang dimilikinya. Mentalitas korban (“kami memang ditakdirkan miskin”) menjadi virus sosial yang menghancurkan komunitas dari dalam.

Dan terakhir, Kemiskinan sebagai Ketidakmampuan Mengelola Keuangan (Poverty is financial mismanagement). Uang hanyalah alat. Tanpa keterampilan manajemen keuangan, uang menjadi racun yang mempercepat kehancuran.

Karena itu, Bupati menyarankan, jika ingin menghancurkan lingkaran kemiskinan maka perlu merevolusi pola pikir, bukan sekadar memberi uang tunai, namun harus menghidupkan kembali semangat batin dan harga diri komunitas.

“Kita harus melatih manajemen finansial dari rumah tangga hingga pemerintahan desa. Dengan mengubah tiga level kemiskinan ini secara strategis dan sistematis serta berkelanjutan, maka uang tunai yang diberikan tidak lagi menjadi bencana, tapi menjadi bahan bakar transformasi”. saran Bupati.

“Terakhir mengapa fisik kita juga Sakit?”. tanya Bupati sekali lagi

Bupati menjelaskan, sejauh ini politik anggaran didaerah ini yang sakit karena tidak berpihak kepada masyarakat yang mengakibatkan kondisi fisik kabupaten Ende makin rapuh dan rusak. Dari sisi pembangunan Ende kalah jauh dari kabupaten-kabupaten lain yang baru saja terbentuk.

Maka dari itu, terang Bupati, sangat dibutuhkan pengelolaan yang efektif efisien dalam mengelola keuangan daerah karena keuangan daerah merupakan motor penggerak, tidak hanya mendukung pembangunan daerah, tetapi juga memastikan optimalisasi pelayanan publik. Dalam konteks ini, pemerintah daerah memegang peran sentral dalam mengelola keuangan daerah untuk mencapai kemandirian dan kemajuan.

Ia juga mengatakan, model keuangan daerah termanisfestasi dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang menjadi instrumen utama dalam perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah. Lebih dari itu, kata dia, pengelolaan keuangan daerah belum berlandaskan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, keadilan dan efisiensi.

“Kita saat ini mesti sadar bahwa setiap penggunaan dana daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik melalui laporan keuangan yang transparan. Kita juga harus disadarkan bahwa setiap Penggunaan anggaran harus memberikan hasil maksimal dengan biaya minimal. Kita juga harus bisa memberikan keadilan dalam alokasi anggaran”, kata Bupati.

Bupati menekankan, setiap alokasi anggaran harus memenuhi kebutuhan masyarakat secara proporsional dan merata. Selain itu, Ia berharap pengeloaan, perencanaan, dan penggunaan anggaran harus transparan, mudah diakses dan dipahami oleh publik.

Bupati juga mengakui, dalam mencapai pengelolaan keuangan yang baik, seringkali diperhadapkan soal kondisi SDM yang lemah. Ketiadaan tenaga ahli di bidang keuangan yang memahami pronsip pengolaan modern menjadi hambatan utama.

“Kita juga masih rentan terhadap praktik korupsi dan manipulasi anggaran. Meski otonomi diberikan, Ende masih sangat bergantung pada dana perimbangan dari pusat ditambah potensi ekonomi terbatas, maka kita sulit menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD)”, timpalnya.

Menurutnya, solusinya adalah penerapan Digitalisasi Keuangan: Menerapkan sistem elektronik untuk meningkatkan efisiensi, seperti e-budgeting dan e-audit. Dan kemitraan dengan swasta dengan melibatkan sektor swasta dalam proyek pembangunan melalui skema Public-Private Partnership (PPP).

Disamping itu, diversifikasi pendapatan dengan mengembangkan sumber-sumber pendapatan baru, seperti pariwisata, ekonomi kreatif, dan pajak berbasis digital. Pelibatan Masyarakat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi anggaran.

“Karena itu, pada mmomentum peringatan kemerdekaan RI ini, Saya bersama wakil bupati mengharapkan dukungan tulus dari seluruh komponen dalam tata kelola pemerintahan daerah. Peran strategis tiga elemen utama yakni pemerintah, swasta dan masyarakat. Kami upayakan dalam nuansa kolaborasi, koordinasi, dan kemitraan. Konteks pemerintahan daerah, kita sedang melakukan perbaikan tata kelola pemerintahan daerah”, pungkasnya.

Bupati juga berharap bahwa untuk membangun eknomi di daerah ini dengan mengelola semua sumber daya yang ada butuh komitmen dan keseriusan seluruh unsur pemerintahan di daerah ini. Pemerintah dan DPRD, Rakyat dan swasta. Apartur Sipil Negara. TNI dan Polri. Instansi Vertikal. Lembaga Agama, Generasi Muda yang tergabung dalam berbagai organisasi, Lembaga Akademik, Insan Pers.

“Sesungguhnya kita telah memilik semua sumberdaya dan aset yang sangat potensial. Bupati dan Wakil Bupati hadir dalam semangat Ende Baru untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Melakukan penatakelolaan pemerintahan daerah secara tegas khususnya: pengelolaan anggaran dan peningkatan pendapatan asli daerah, penyelenggaraan berbagai event, penataan SDM Aparatur, sedang menjadi fokus utama saat ini”, kata Bupati Badeoda. (CR/SP)

Pos terkait