Site icon savanaparadise.com

Praperadilan YK, Ahli Pemohon Bilang Satu Tindak Pidana Sprindik Satu

Saksi Ahli Pemohon, Mikael Feka, SH.,MH saat memberikan keterangan pers usai memberikan dipersidangan Praperadilan (Foto: Chen Rasi/SP)

Ende, Savanaparadise.com,- Sidang Praperadilan pemohon Yohanes Kaki memasuki sidang Ketiga yang digelar, Kamis, 13 Maret 2025 di Pengadilan Negeri Ende semakin menarik untuk disimak.

Pasalnya, sidang yang dipimpin oleh Hakim Tunggal, I Putu Renata I Putra, SH itu memasuki agenda pembuktian dengan menghadirkan saksi ahli dan saksi fakta serta bukti surat, baik dari pemohon maupun termohon.

Menariknya, dari dua saksi ahli yang dihadirkan, baik pemohon maupun termohon memiliki latar belakang yang cukup mumpuni di ilmu hukum, sama-sama berprofesi sebagai Dosen.

Satunya, Saksi Ahli Pemohon, Dr. Mikhael Feka, SH.,MH, Dosen di Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang.

Satunya lagi, Saksi Ahli Termohon, Dr. Simplexius Asa, SH.,MH, Dosen sekaligus Dekan di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.

Mereka berdua diminta menjadi ahli dalam sidang Praperadilan yang diajukan oleh pemohon Yohanes Kaki dengan perkara nomor 1/Pin. Pra/2025/Pn. End.

Permohonan Praperadilan diajukan Pemohon terkait penetapan dirinya sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi Paket pekerjaan normalisasi kali dan bronjonisasi di Kecamatan Kotabaru Ende.

Saksi Ahli Pemohon, Mikhael Feka, ketika dimintai keterangan mengenai apa diperbolehkan Sprindik itu bisa lebih dari satu dalam satu tindak pidana?. Ia menjelaskan dalam satu tindak pidana Sprindiknya cuma satu.

Apabila Sprindik lebih dari satu, menurut Mikhael, akan berdampak pada penyidikan itu menjadi tidak sah.

Namun dalam praktek, kata Mikhael, apabila ada penyidik baru yang ditugaskan untuk melakukan penyidikan, maka diterbitkan Sprindik baru tetapi Sprindik itu tidak boleh terlepas dari Sprindik induk.

Selain penjelasan Mikhael mengenai Sprindik, Ia juga menerangkan bagaimana dalam kasus yang sama ditangani oleh dua institusi yang berbeda.

Menurutnya, kendatipun tidak ada larangan dan juga tidak ada perintah, tetapi itu tak boleh dilakukan karena akan bertentangan dan berdampak pada pasal 76 KUHP yaitu tentang asas “ne bis ini idem”, suatu perkara tidak boleh ditangani dua kali.

“Tadi di ruang sidang saya juga sudah sampaikan bagaimana kalau dalam prakteknya sebuah kasus di tangani oleh dua institusi, satu naik, satunya SP3. Mana harus di pakai?. Atau misalkan dua-duanya naik, bagaimana cara menyidangkannya?”, terang Mikhael.

“Ini juga tidak ada kepastian hukum, apalagi itu bicara tentang keadilan. Jelas jauh dari kata keadilan”, sambungnya.

Mikhael juga menjelaskan, apabila terjadi dua institusi yang sedang menangani perkara yang sama, yang harus dilakukan adalah koordinasi.

“Koordinasi agar kemudian hanya satu. Misalkan penyidik Polri yang melakukan penyidikan, Jaksa melakukan fungsi pra penuntutan, melakukan petunjuk-petunjuk, dan seterusnya. Karena dalam konteks undang-undang, yang boleh mengambil alih penyidikan adalah KPK”, jelas Mikhael.

Mikhael menambahkan, koordinasi antara penyidik dan jaksa itu wajib. Dia tidak bersifat opsional. Sehingga, apabila dua institusi rebutan menangani suatu perkara, yang harus dilakukan adalah koordinasi.

“Tapi kalau ditanya institusi mana yang paling berwenang, menurut saya, institusi yang paling pertama yang menangani itu yang paling berwenang”, terang Mikhael.

Sementara dari Saksi Ahli termohon, Simplexius, ketika memberikan pendapatnya saat sidang berlangsung, menjelaskan kalau dilihat dari fungsi Jaksa dan Polisi sama-sama memiliki fungsi untuk melakukan penyidikan, maka menurutnya kalau dilihat dari sudut pandang fungsi itu diperbolehkan.

” Proses penyidikan itu dilakukan untuk menemukan alat bukti. Sehingga apabila dilihat dari fungsi itu tidak salah dilakukan. Kan fungsi dia penyidik”, jelas Simplexius melalui video Coference dari Kupang.

Simplexius mengemukakan pendapatnya mengenai Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Bagi dia berapa pun jumlah Sprindik yang dikeluarkan tergantung kebutuhan penyidik.

“Kalau ditanya bisa keluar berapa Sprindik?, menurut saya kebutuhan teknis penyidikanlah yang menentukan itu”, jawabnya. (CR/SP)

Exit mobile version