Jakarta, Savanaparadise.com,- Pancasila sejatinya menjadi indikator dan tolak ukur nilai-nilai Pancasila dalam berbagai produk hukum nasional. Termasuk di dalamnya soal spirit dari Bhinneka Tunggal Ika dan keadilan hukum. Demikian benang merah dalam Webinar III Pra Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) bertajuk “Revitalisasi Hukum Berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika” di Jakarta, Jumat (30/4/2021).
Perhelatan ini merupakan rangkaian menuju Kongres IV PA GMNI di Bandung, Juni 2021 mendatang. Menurut Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah saat membuka acara webinar itu, Pancasila telah disepakati sebagai perjanjian luhur para pendiri bangsa atau ijab kabul para pendiri dalam menyatukan negara Indonesia yang majemuk ini.
“Oleh karena itu, kita tidak bisa memahami eksistensi dan kedudukan hukum Pancasila dalam sistem hukum bangsa Indonesia tanpa mempelajari sejarah pembentukan Pancasila oleh pembentuk Pancasila,” jelas Basarah yang juga Ketua Umum DPP PA GMNI tersebut.
Ia mengingatkan kembali sejarah pembentukan Pancasila sejak Sidang BPUK Mei-Juni 1945. Kelahiran Pancasila tak lepas dari Pidato Sukarno 1 Juni 1945 hingga terbentuknya Panitia 8-Panitia 9 hingga PPKI dalam merumuskan dasar negara dan konstitusi. Kemudian benang merah antara Dekrit Presiden RI Sukarno 5 Juli 1959 sampai kemudian Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan Keppres 24 Nomor 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Dekrit Presiden Sukarno merupakan sumber hukum memberlakukan kembali UUD 1945 menggantikan UUD Sementara 1950. Keputusan ini dibuat akibat terjadi kebuntuan antara kelompok nasionalis dan agama dalam menentukan konstitusi negara. Ketika itu terjadi keinginan amat kuat dari sebagian kelompok yang menginginkan Indonesia sebagai negara agama.
Ahmad Basarah menilai dari substansi hukum Dekrit 5 Juli 1959 antara konsideran menimbang dan diktum putusan jelas ada kesinambungan sebagai upaya menyelamatkan rakyat dan bangsa dengan kembali ke UUD 1945. Konsideran menyebut, “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”
“Dengan demikian pelaksanaan syariat Islam di Indonesia dapat dijalankan dalam bingkai negara hukum Pancasila,” tukas Basarah.
Nilai-nilai tersebut sudah tecermin dengan adanya 9 undang-undang terkait syariat Islam seperti UU Wakaf, UU Penyelenggaraan Umrah dan Haji, dan UU Perbankan Syariah. Ia menegaskan sekali lagi, Pancasila sebagai sumber hukum nasional tidak mengenal konsep negara satu agama, melainkan menghormati seluruh agama yang ada.
Jadi tidak perlu ada lagi NKRI Bersyariah karena substansi nilai-nilai agama sudah dimasukkan dalam hukum nasional.
Meski secara jelas dinyatakan dalam pasal 2 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.
Tapi di sisi lain, urai Basarah, ternyata dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan. Baik saat membentuk UU di tingkat DPR maupun DPRD dan pemerintah daerah dalam membuat Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota masih ada yang belum mencantumkan Pancasila sebagai falfasah dan sumber hukum.
Dicontohkan, banyaknya UU yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2003-2020 sebanyak 265 perkara dari 706 perkara. Kemudian Kemendagri membatalkan 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi, kemudahan berusaha dan memperpanjang jalur birokrasi.
Narasumber webinar Prof. Jamal Wiwoho, Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta menegaskan Pancasila harus menjadi tolok ukur kualitas produk legislasi. Baik kalangan DPR RI, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan wajib menjadikan Pancasila sebagai salah satu dasar dalam menilai keabsahan peraturan perundang-undangan.
“Pancasila sekaligus menguji keadilan hukum agar hukum tak menjadi tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” jelasnya.
Pasalnya, menurutnya, Pancasila selama ini dikatakan merupakan sumber dari segala hukum. Pancasila merupakan sumber kaidah hukum yang secara konstitusional mengatur Negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu Rakyat, Wilayah, serta Pemerintah Negara.
Jamal Wiwoho mengusulkan agar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) diposisikan sebagai lembaga kontrol dengan tugas menilai dan mencegah terjadi ketidaksesuaian antara regulasi di Indonesia dengan nilai-nilai Pancasila. Lembaga ini sekaligus mengharmonisasi semua regulasi dalam arti mengharmonisasi rancangan undang-undang (RUU) sebelum menjadi undang-undang, agar tetap sesuai dengan koridornya yaitu nilai-nilai Pancasila.
“Sebaiknya BPIP juga memiliki legal standing mengajukan hak judicial review ke MK dan MA,” imbuhnya.
Adapun, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kemenkum HAM RI, Prof. Dr. H.R. Benny Riyanto menambahkan Pancasila diletakkan sebagai acuan utama dalam melakukan filter regulasi. Pembangunan hukum itu adalah fondasi dalam pembangunan nasional sehingga perlu adanya evaluasi atau review atas berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu, penataan regulasi menjadi prioritas kerja Pemerintah Indonesia.
“Tujuan penataan regulasi agar kondisi perundangan-undangan yang saat ini hiperregulasi, disharmoni, multi-interpretasi, tidak efektif, biaya tinggi, dan kurang berjiwa Pancasila menjadi lebih simplifikasi, harmonis, jelas, lugas, efektif, dan efisien sesuai dengan Pancasila,” jelas Benny Riyanto.
Keadilan Hukum Pada kesempatan itu, Dr. Kunthi Tridewiyanti mengingatkan Pancasila sebagai cita hukum mempunyai tujuan hukum untuk mengayomi manusia dari berbagai macam diskriminasi. Pengayoman manusia tidak dalam arti pasif atau mencegah tindakan sewenang-wenangan tetapi juga perlindungan aktif berupa penciptaan kondisi dan mendorong manusia untuk memanusiakan diri terus menerus.
“Di dalam konstitusi Pancasila, memuat berbagai hak konstitusional bagi semua rakyat termasuk terhadap perempuan. Sebagai pembangunan hukum berkeadilan bagi perempuan, maka Pancasila harus ada setiap landasan hukum nasional. Ini tak hanya sekadar teks dari pasal-pasal tetapi jiwa hukum itu agar memberikan keadilan bagi perempuan,” ujar pengajar hukum di Universitas Pancasila tersebut.
Sedangkan, Guru Besar FH Universitas Jember, Prof.Dr. Dominikus Rato menjelaskan sistem hukum Pancasila mempunyai ciri karakteristik hukum yang dinamis sesuai perkembangan masyarakat, akomodatif atau menerima hukum asing yang positif asal harmoni dengan Pancasila. Lalu adaptif-aktif dalam menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, kreatif dan inovatif yang selalu menemukan sesuatu yang baru.
Menurut dia, dalam pembentukan sistem hukum Indonesia ke depan hendaknya juga kembali pada akar budaya yaitu Sistem Hukum Pancasila yang Bhinneka Tunggal Ika atau menghargai keanekaragaman. “Dengan demikian, kita kembali ke jati diri bangsa.
Di pengujung webinar, Prof. Dr. Arief Hidayat, Hakim Mahkamah Konstitusi mengingatkan bahwa Pancasila dari zaman ke zaman selalu menghadapi tantangan untuk memindahkan dari level filosofi ke level operasional-implementatif. Karena itu, patut diupayakan agenda aktualisasi dan penyadaran kembali nilai-nilai Pancasila dengan cara kekinian.
“Aktualisasi dan penyadaran nilai Pancasila saat ini bisa dimulai dengan membentuk influencer-influencer generasi muda yang benar-benar paham Pancasila dan bisa menyalurkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konten-konten media sosial bisa diisi dengan sebanyak mungkin nilai-nilai Pancasila,” tutupnya.
Persatuan Alumni (PA) GMNI
Persatuan Alumni GMNI adalah organisasi yang bersifat intelektual, kekeluargaan, independen, kerakyatan, dan terbuka. Berfungsi menyelenggarakan komunikasi berkelanjutan antarsegenap Alumni GMNI dengan menghormati status, kedudukan, fungsi, aspirasi politik dan organisasi yang diikuti masing-masing anggotanya dalam semangat kebersamaan.
Organisasi berasaskan Pancasila dan penerus ajaran Bung Karno ini terbentuk tahun 2006 dari hasil Musyawarah Nasional Forum Komunikasi Alumni GMNI III kemudian menjadi Kongres Persatuan dan Kesatuan Alumni GMNI I di Jakarta. (SP)