Jakarta, Savanaparadise.com,- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki catatan sederet pekerjaan yang akan menanti Kapolri baru. Mengingat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera menggelar uji kepatutan dan kepatuhan terhadap calon tunggal kapolri yang diserahkan presiden.
Sederet catatan LPSK disampaikan oleh Wakil Ketuanya, Edwin Partogi Pasaribu. Pertama. LPSK memulainya dengan mempertanyakan mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan diterapkan kapolri menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggota Polri?
Praktik penyiksaan, kata Edwin, masih menjadi catatan masyarakat sipil. Tindak brutalitas oknum polisi merujuk data KontraS, sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020, terdapat 62 kasus penyiksaan. Pelaku dominan oknum polisi dengan 48 kasus. Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban tewas.
Menurut catatan LPSK tahun 2020, terdapat 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan, sementara di 2019 lebih tinggi dengan 24 permohonan. Artinya, terjadinya penurunan sebesar 54% perkara penyiksaan pada tahun 2020 dibanding 2019. Namun, bila merujuk jumlah terlindung, pada 2020, terdapat 37 Terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan.
“Peristiwa terakhir yang menarik perhatian, dikenal dengan Peristiwa KM 50, yang menewaskan 6 orang laskar FPI. Rekomendasi Komnas HAM, meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana. Sebaiknya Kapolri mencontoh KSAD yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di Peristiwa Intan Jaya,” ujar Edwin, Minggu (17/1-2021).
Menurut Edwin, umumnya kasus penyiksaan diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana.
“Publik mempertanyakan, equality before the law dan efek jeranya. Memang, penyiksaan masih memiliki problem regulasi, karena tidak ada di KUHP sehingga disamakan dengan penganiayaan,” kata Edwin.
Kedua, bagaimana Kapolri menyikapi penyebaran hoax dan ujaran kebencian (hate speech) yang terus meningkat beberapa tahun terakhir? Polda Metro Jaya di 2020 melansir telah menangani 443 kasus hoax dan hate speech. Sebanyak 1.448 akun media sosial telah dilakukan take down, sedangkan 14 kasus dilakukan penyidikan hingga tuntas.
“Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah, sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya,” tanya Edwin.
Ketiga, bagaimana pendekatan restorative justice yang akan dikembangkan Polri? Menjadi rahasia umum, kondisi penjara over capacity. Jumlah napi yang masuk, tak berbanding lurus dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Besaran jumlah napi yang masuk dengan keluar amat tidak berimbang. “Situasi ini sebaiknya disikapi Polri menggunakan pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana,” kata Edwin.
Keempat, bagaimana upaya Kapolri memerangi korupsi di korpsnya? Edwin membeberkan kasus surat palsu Djoko Tjandra yang tidak terlepas dari praktik suap, telah menempatkan 2 jenderal polisi sebagai terdakwa. Apresiasi kepada Polri yang menindak oknum jenderal pada tindak pidana ini. Namun, praktek suap dan pungli masih kerap dikeluhkan masyarakat ketika berhadapan dengan polisi. “Menjadi tugas Kapolri agar pelayanan dan proses hukum di tubuhnya bersih dari praktik transaksional yang dapat menghilangkan kepercayaan publik,” ujarnya.
Kelima, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi keprihatinan nasional. Pada masa pandemi, catatan LPSK di 2020 terdapat 245 permohonan atas kasus ini, menurun 31,75% dibandingkan 2019. Model yang berkembang dalam kejahatan dari grooming hingga pemerasan. Namun, banyak pelaku disebabkan terpangaruh konten pornografi di sosial media. “Polri dituntut aktif melakukan patroli siber untuk memerangi konten pornografi di dunia maya,” imbuh Edwin.
Keenam, bagaimana strategi kolaborasi dan sinergi Polri dalam penegakan hukum bersama LPSK, KPK, Kejaksaan Agung, dan lainnya? Koordinasi dan sinergi adalah situasi yang diharapkan agar tercapai kolaborasi bagi kepentingan penegakan hukum. Namun, praktiknya tidak mudah. Ego sektoral selalu jadi penghambatnya. “Kapolri diharapkan mampu membangun koordinasi dan sinergi, tidak berhenti menjadi slogan,” pinta Edwin yang juga mengapresiasi Polri atas kolaborasinya selama ini dengan LPSK dalam perlindungan korban TPPO dan terorisme. Harapannya, kolaborasi itu dapat berlanjut di perkara lain, seperti tindak pidana korupsi.
Terakhir, bagaimana strategi Polri meningkatkan keamanan di daerah zona terorisme di Sulawesi Tengah dan kelompok kekerasan bersenjata di Papua, yang berpotensi jatuhnya korban dari masyarakat? Di sisi lain, Polri harus meningkatkan perhatian kepada anggota yang bertugas zona merah, dengan memberikan reward, perlengkapan teknologi, kendaraan dan waktu penugasan dengan mempertimbangkan situasi psikologis anggota yang berdinas di zona merah. (Humas LPSK/SP)