Site icon savanaparadise.com

Opini: Petani Ku “Jago Kandang”

Oleh: Into Umbu Djoka,S.IP

Tulisan Sederhana Ini Muncul Dari Hasil Perenungan Dipadang Taupopu

Memberdayakan petani agar tidak cuma menjadi “jago kandang”. Itu Konsep yang mesti di bangun dalam mindset para petani kita.

Mengamati sesama petani di Sumba Tengah pada umumnya hanya jago di kandang (lahan). Bagaimana dia mengolah lahan, menanam benih, mengelola tanaman, sampai panen, semua bisa. Sedangkan di luar kandang, dia tidak punya pengalaman.

Jadi, di situlah kadang-kadang petani banyak yang merasa kecewa. Hasil panennya bagus, tapi ketika di jual harganya jatuh. Selama ini yang di edukasi, hanya bagaimana cara menanamnya. Bukan cara penjualannya.

Dia tidak bisa jualan, kecuali nanti alirannya simpel saja. Tengkulak datang, di beli, harganya di tentukan oleh tengkulak.
Betapa jagonya petani pada waktu dia menanam dan hasilnya bagus, tapi jika dia tidak punya kemampuan di bidang agribisnisnya, dia juga kan menjadi pihak yang kalah.

Oleh karena itulah, bantuan dan dukungan pihak (perangkat) desa dan Pemda tidak sekedar ada pada “kandang”nya, tapi juga bisa turut membantu dan memberdayakan petani di “luar kandang”nya tadi.

Bagaimana caranya?

Pihak desa harus bisa menjadi partner langsung agar bisa memutus mata rantai tengkulak, sehingga harga bisa normal tanpa bisa di permainkan. Pihak desa menjadi pembeli atau partnership dengan perusahaan eksportir yang selalu menjadi off taker (pembeli) dari barang-barang dari petani.

Dengan begitu akhirnya para tengkulak tidak bisa berkutik saat mau menjalankan usahanya, sehingga petani akan menang serta bisa menikmati hasilnya.

Pihak desa sebagai pemasaran juga bisa bekerja sama dengan pembeli seperti perusahaan, pengusaha atau toko-toko/supermarket.

Karena kan petani tidak mungkin membawa hasil panennya lalu datang ke perusahaan supaya di beli. Maka harus di kembangkan network-nya. Pihak desa pun harus bekerja sama dengan pemerintah daerah, dengan meminta produk yang di jual di perusahaan,toko/sepermarket tsb minimal 10% adalah produk lokal warga setempat.

Nah, perusahaan,toko²/supermarketkan biasanya menuntut apakah ada jaminan pasokan ? Sebab sayuran dan buah-buahan ada yang musiman. Nanti kalau konsumen di perusahaan/toko/sepermarket tanya barangnya mana dan ternyata tidak ada, bisa mengurangi kepercayaan dari perusahaan/toko/supermaket. Pokoknya petani harus di ajarkan sampai sejauh itu.

Tidak lupa memberi pemahaman petani terhadap kualitas dari produknya. Kalau kita bicara kualitas, petani itu harus di beri pengetahuan, juga mengenai bagaimana bertani yang baik, bagaimana kemudian dia menghasilkan sayur,buah-buahan, umbi-umbian,padi, jangung, kacang2an dan lain sebagainya yang berkualitas bagus dengan melakukan grading (sortasi manjadi bermacam² mutu dan memiliki nilai komersial serta kegunaannya)

Petani biasanya jarang yang melakukan grading. Mereka asal petik saja. Ada yang kecil, ada yang besar. Sayang kalau kita jual yang besar, nanti yang kecil tidak laku, begitu selalu kata petani. Karena berpikirnya seperti itu, maka di campur saja.

Hal seperti itu bisa mengurangi kepercayaan konsumen. Karena konsumen itu pada dasarnya mencari yang terbaik. Dia perlu KW 1, KW 2, dll. Jadi grading itu sangat di perlukan yang ukurannya sama di kelompokkan. Nanti di banderol dengan harga tertentu.

Yang ukurannya kecil-kecil, sebenarnya juga bisa di gunakan tanpa harus di konsumsi langsung, misalnya bahan baku produk olahan seperti jus, pakan ternak ternak dll.

Banyak orang awam yang beranggapan bahwa petani di Sumba Tengah tidak sekaya dengan petani-petani di luar. Kita harus benchmark kemana untuk industri pertanian pangan ?

Sering kita dengar pertanyaan kenapa sih anak muda Sumba Tengah tidak mencintai pertanian? Karena pertanian itu sebagai pilihan terakhir, di sebabkan tidak ada pekerjaan lain.

Jadinya bukan pilihan, tapi keterpaksaan. Ini yang harus kita putus regenerasinya.

Exit mobile version