Site icon savanaparadise.com

Opini: Nasionalisme Kehilangan Makna dan Ruh?

Oleh: Marianus Bertolomeus R. Pora
Alumni GMNI Malang

Dengan falsafah Pancasila, kita dapat hidup berdampingan sesama anak bangsa dan sederajat dengan bangsa lain di dunia. Apabila kita mengingkari jati diri yang sudah disepakati bersama, akibatnya tentu malapetaka bagi generasi mendatang. “Konsep apa pun yang ditempuh yang mencoba mengingkari Pancasila dan UUD 1945”, maka akibatnya adalah perpecahan dan hancurnya bangsa Indonesia.

Setiap bangsa mempunyai sejarah pembentukan dan perumusan faham kebangsaannya. Ada bangsa yang terbentuk berdasarkan etnis, agama, geopolitik, atau persamaan kepentingan; ada yang berdasarkan kebangsaan atau kosmopolitan.

Namun bangsa Indonesia, sejak awal memilih bentuk negara kebangsaan. Bangsa ini muncul dari amanat penderitaan rakyat terjajah. Melalui perjuangan dan pengorbanan jiwa, 360 suku bangsa menjadi satu bangsa dan membentuk NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sungguh anugerah Tuhan, Indonesia mampu bertahan dari cobaan yang mengancam eksistensinya sebagai Negara kesatuan.

Memang kehidupan bangsa besar penuh dengan dinamika, yang jika dapat dikelola dengan baik, dapat menjadi kuat dan sejahtera. Namun bila tidak dikelola secara tepat, bangsa itu dapat pecah atau punah. Kita dapat melihat dan mendengar di dunia ini ada nya negara yang dulu kuat namun kemudian pecah dan membawa malapetaka bagi masyarakatnya.

Di tengah perkembangan globalisasi dan reformasi yang kehilangan arah, banyak ellt politik, usahawan, cendikiawan dan tokoh masyarakat meragukan masa depan bangsanya. Tuntutan kemewahan dan kekuasaan masyarakat modern menawarkan berbagai pendapat. Dengan argument mencapai masyarakat yang lebih adil dan makmur, mereka mencoba bentuk negara kebangsaan menjadi lebih demokratis. Tawarannya, menjadikan negara bangsa ini menjadi negara etnis ataupun negara korporasi.

Mereka ini kurang mengantisipasi arus perkembangan utama dunia. Bagaimanapun Tuhan tidak menghendaki dunia ini terpecah dan serakah, melainkan dunia yang bersatu dalam persaudaraan bangsa-bangsa sesuai letak geografis, hidup sesuai dengan budaya dan agamanya masing-masing.

“Pemikiran yang mencoba memecah negara bangsa seperti Indonesia dengan tawaran etnis ataupun korporasi itu bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan para pendahulu.

Di tengah krisis multidimensi yang masih mengancam, kemudian belajar dari pengalaman masa lalu bangsa sendiri maupun bangsa lain, maka masa depan kebangsaan Indonesia, hanya dapat tetap utuh dan berkembang dengan baik apabila kita kembali ke jati diri bangsa, Pancasila dan UUD 1945. Tanggung jawab sejarah generasi sekarang ialah mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik.

Kita perlu mencermati kecenderungan yang kini terjadi yakni kooptasi agama demi kepentingan politik praktis. Orang mengamputasi agama untuk kepentingan ambisi pribadi dan obsesi golongan, bahkan untuk melegitimasi kesalahan yang nyaris tak termaafkan.

Mereka menjadikan agama yang berdimensi transendental menjadi subordinasi ideologi politik yang berdimensi kekuasaan, keduniawian, kefanaan. Akibatnya kehidupan beragama yang seharusnya menjadi elemen moralitas kebangsaan, justru terisolasi sebagai kubu-kubu sektarianisme dan partikularisme yang menjuruskan bangsa ke dalam fragmentasi.

Reformasi yang semula diharapkan menjadi ‘life star’ (bintang kehidupan) bangsa memasuki era pencerahan, kini justru mengalami euforia yang kebablasan. Semangat asal berubah serta merta menisbikan hal-hal esensial yang menjadi sendi-sendi kebersamaan bangsa dan mengoyak-koyak elemen dasar kesepakatan kita akan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pancasila yang mempersatukan bangsa kini berada pada titik kulminasi goncangan eksperimentasi politik. Euforia reformasi menafikkan “Fundamental Values of Nation State” (nilai-nilai fundamental negara bangsa) dan membuka peluang terjadi infiltrasi nilai-nilai maupun model-model eksperimentasi yang belum menjamin kelangsungan kebangsaan Indonesia.

Pudarnya semangat kebangsaan menandakan Indonesia kini menghadapi persoalan nation building (pembangunan bangsa). Di sinilah urgensi menumbuhkembangkan nasionalisme yang menjaga kontinyuitas Indonesia sebagai bangsa di masa depan. Sesungguhnya nasionalisme bukanlah barang jadi, melainkan proyek bersama yang harus terus menerus diperjuangkan.

Ada tiga faktor telah mendorong terbentuk bangsa Indonesia. Pertama, nasionalisme Indonesia bertumbuh dari rasa kebersamaan, merasa bersama-sama dijajah, senasib sepenanggungan, menderita berkorban, berjuang melawan musuh yang sama. Komunitas suku bangsa dan kerajaan yang hidup lepas, kemudian dalam komunitas Nasion Indonesia.

Kedua, motivasi untuk merdeka, yakni cita-cita dan perjuangan bersama untuk membebaskan diri dari penjajahan, ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Cita-cita setelah merdeka, yakni bersama-sama membangun masa depan bangsa yang lebih adil, damai dan sejahtera. Nasionalisme bertumbuh karena cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, Konsensus. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia mencatat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai kesepakatan dan komitmen kebangsaan Indonesia. Mereka mengaku berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu. Sejak itu bangsa Indonesia eksis atas dasar konsensus dari komunitas-komunitas kecil untuk bergabung menjadi satu komunitas besar, Bangsa Indonesia.

Kesadaran bahwa kebangsaan Indonesia dibangun di atas kebhinekaan akan tumbuh apabila kita dapat memahami bahwa kemampuan mempertahankan keunikan suatu golongan hanya dapat dikembangkan dalam kebersamaan dengan golongan lain. Hanya dengan memelihara spektrum yang dapat menampung semua perbedaan dan keanekaragaman, barulah dapat dilihat keunikan masing-masing sebagai kekayaan bersama.

Untuk ‘masa depan kebangsaan Indonesia’, kita butuh revitalisasi nasionalisme Indonesia karena nasionalisme kehilangan makna dan ruhnya ketika ia sudah teramat sering dibajak oleh rezim untuk kepentingan kekuasaan. Nasionalisme sering dipakai rezim sebagai komoditas politik dan tameng untuk melanggengkan kekuasaan yang korup dan otoriter. Konteks inilah yang mengantar meaningless, usang dan tak bermakna.

Sebetulnya, kita pernah memiliki rasa nasionalisme yang begitu tinggi menjelang kemerdekaan. Hal ini karena kita menghadapi musuh bersama yaltu penjajah; tujuan yang sama yaitu merdeka; dan merasa senasib seperjuangan karena semua merasa tertindas oleh bangsa asing. Tetapi bagaimana memaknai nasionalisme itu sekarang?

Sekarang pun, ada pelajaran berharga yang masih menghentak kesadaran bangsa yakni makna pengorbanan. Diilhami oleh Sutasoma yang mengorbankan diri sendiri demi kesejahteraan bangsanya, Bung Karno akhirnya menempuh pilihan moral: Lebih baik dirinya tenggelam demi keutuhan bangsa dari perang saudara pasca Gerakan 30 September 1965, dari pada memilih berkuasa, dengan melihat kehancuran bangsa dan rakyat nya sendiri.

Apa yang diteladankan Bung Karno merupakan sesuatu yang langka saat ini. Jarang sekali ditemukan sosok negarawan sejati pada diri manusia Indonesia. Egoisme kerap dipraktekkan dalam kehidupan dewasa ini tanpa memiliki rasa empati dan kepedulian terhadap orang lain.

Spirit of nationalism (semangat nasionalisme) yang diletakkan oleh para pendiri bangsa semakin tergerus oleh perkembangan jaman yang demkian pesat. Pendek kata, kembali kita diarahkan untuk kembali ke jati diri bangsa, kebangsaan yang selalu mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Exit mobile version