Site icon savanaparadise.com

Opini: Masa Depan Isi Kepala

Oleh: Aulora A. Modok

(Gubuk Imajinesia)

Dunia bergerak cepat. Perubahan dan percepatan terjadi di depan mata. Sumber informasi bersileweran, tapi kita masih kaget dan termangu. Kita masih malas membaca dan mengobrak-abrik pengetahuan demi meningkatkan kualitas diri.

Buku adalah salah satu pijakan literasi dan tonggak ilmu pengetahuan terlama. Dahulu, peristiwa penting cukup terekam dalam ingatan manusia, atau terukir pada relief dinding candi dan sebagainya. Buku yang terbuat dari kertas, konon baru diperkenalkan Tiongkok tahun 200-an sebelum masehi.

Sekalipun buku pertama kali sudah ada di Mesir tahun 2400-an sebelum masehi. Persisnya setelah menciptakan kertas papirus. Usia panjang buku, tak lantas melahirkan kesenangan membaca. Kebiasaan membaca dianggap kesukaan para intelektual saja. Membaca secara intensif itu rumit, katanya. Karena tak sebatas menghafal tulisan.

Terjadi proses mental ketika berbahasa dan memahami esensi kata, dan proses berpikir tentang berpikir, termasuk soal ingatan, pemahaman dan analisis. Mungkin itu sebabnya Indonesia berada di bawah Thailand, yakni pada urutan ke-60 dari 61 perihal minat membaca berdasar Studi Central Connecticut State University tahun 2016.

Budaya tutur atau kebiasaan mendengar lebih lazim dibanding budaya membaca. Finlandia, negara paling literat. Kualitas pendidikan terbaik dunia. Membaca ditradisikan dari rumah. Kepada orang tua yang baru memiliki anak, pemerintah memberi maternity package berisi keperluan bayi dan buku bacaan.

Kebiasaan mendongeng dilakukan turun- temurun. Setiap selesai jam belajar, anak terbiasa membaca satu buku per minggu. Bahan bacaan anak lebih banyak diterbitkan daripada jenis buku lain. Saya teringat ungkapan manis Emilie Buchwald “anak-anak disulap menjadi pembaca dipangkuan orang tua mereka”.

Australia punya Library Day. Dimana setiap Kamis, anak sekolah pinjam satu buku untuk dibaca seminggu, lalu wajib diceritakan depan kelas. Anak terlatih percaya diri dan berani mengemukakan pikirannya. Dari membaca, tumbuh kosakata baru serta belajar mengelola kalimat. Kemampuan story telling mereka terasah. Lihat, kurikulum pendidikan yang konsisten berdampak pada kemajuan anak.

Jepang ialah teladan Asia. Restorasi Meiji krusial merombak kualitas manusia. Siswa wajib membaca 10 menit sebelum masuk kelas. Sejak kecil terlatih membaca. Candu membaca. Dimanapun, termasuk Tachiyomi (membaca sambi berdiri di toko buku). Pulang ke rumah, disuguhi Sekiguchi, tayangan televisi yang isinya promosi dan review buku. Selain menjamurnya toko buku, tiap tahun jutaan buku baru dicetak. Bukan keajaiban 99 % warga melek huruf.

Cerita Kita

Riset UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia 0,001 %, atau dari 1000 orang hanya satu yang serius membaca. Sekalipun perpustakaan Indonesia terbanyak kedua di dunia. Berjumlah 164.610. Urutan pertama India sebanyak 323.605. Berikutnya Rusia dan Cina (www.mediaindonesia.com, diakses 24 April 2021).

Sayangnya, perpustakaan tak sebanding jumlah penduduk. Sebagian besarnya adalah perpustakaan sekolah, yang antara ada dan tiada. Ragam bukunya bikin prihatin. Setahun kita hanya punya sekitar 60.000 judul buku baru. Perpustakaan yang tak merata apalagi wilayah pedesaan, membuat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 yang mengatur alokasi dana desa untuk perpustakaan. Perpustakaan setiap desa. Wajib.

Soal lain ialah pembajakan buku belum terberantas. Predikat pemegang rekor Plagiasi di dunia. Harga buku mahal. Berbanding terbalik dengan kecilnya royalti penulis di Indonesia. Penulis, sang pendobrak literasi. Nasibnya tak tentu.

Literasi dan Kemajuan Teknologi

Hal literasi, Nusa Tenggara Timur menduduki peringkat 31 dari 34 provinsi dengan Indeks Aktifitas Literasi Membaca 29,83 %, atau tergolong rendah seperti dilansir Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud.
Persoalan literasi sesungguhnya mampu diintervensi teknologi dan infrastruktur digital (akses internet) yang hingga kini masih payah dan mahal.

Namun harapan selalu tumbuh bersama kesulitan. Teknologi menghadirkan solusi. Pengetahuan bisa diakses dengan mudah dan cepat lewat fasilitas internet.
Keleluasaan akses informasi tetap melahirkan distraksi. Teralihkan dari kebutuhan utama kita. Bayangkan generasi muda yang terombang-ambing dalam samudera informasi, sering kesulitan memilah prioritas.

Akibat distraksi tersebut, generasi muda malahan asyik menikmati informasi hoax, gosip selebriti, sajian gaya hidup hedon dan mewah ala para youtuber, penjara tayangan sinetron dan menggilanya tayangan mistik, serta kecanduan game online sepanjang hari. Sampai lupa niat awalnya datang ke kota untuk kuliah dan menjadi sarjana, misalnya. Mereka lupa bahwa orang-orang yang malas, tidak terampil dan tanpa keahlian khusus akan terhempas dalam kompetisi sumber daya manusia.

Sekarang manusia berhadapan dengan teknologi robot dan mesin-mesin cerdas (aplikasi). Posisi manusia tergeser. Perlahan dan pasti. Pekerjaan manusia diganti mesin dan robotik. Jutaan pengangguran nelangsa. Boleh jadi besok atau lusa pekerjaan yang kita banggakan saat ini, segera dikomandoi Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan.

Industri jasa (pelayanan) dikerjakan robot. Contoh kecil, mayoritas hotel di Jepang menggunakan robot. Mekanisasi dan robot dalam industri mampu mengerjakan pekerjaan ratusan bahkan ribuan orang. Mobil dan pesawat autopilot (tanpa pengemudi). Banyak pekerjaan akan hilang di masa depan. Penggunaan mesin dan robot jelas tak bisa dihadang. Efisien dan efektif. Mesin dan robot bisa terpakai jangka panjang. Ibaratnya, robot dan mesin lebih menguntungkan.

Robot tidak doyan mengeluh, apalagi bertingkah. Robot tidak mungkin menghilang pada jam kerja atau tak pernah terlibat konflik. Robot juga tidak menuntut naik gaji padahal performa rendah.

Demikian krusial literasi itu tuan dan nyonya. Literasi bukan hanya urusan bisa baca, bisa tulis. Tapi keterampilan dan keahlian, struktur berpikir, ketajaman, imajinasi dan kritis. Manusia unggul. Manusia ahli. Betul-betul ahli. Bukan kelas amatir. Literasi berguna membentuk sikap dan kepekaan terhadap perubahan jaman.

Literasi membuat otak terang dan bercahaya. Bayangkan ratusan tahun lalu diantara sejuta keterbatasan, bisa lahir manusia ajaib seperti Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Galileo, Plato, Shakespeare atau Beethoven. Sekarang adalah momen peradaban kita. Sayang sekali jika kita masih terjebak sebagai manusia biasa-biasa saja. Bingung mau berbuat apa. Dipenuhi kabut ketakutan untuk membangun diri. Sudah begitu, masih malas membaca. Gelagapan kalau bicara ide dan gagasan.

Literasi, sekali lagi, memberi makanan terbaik bagi kualitas manusia. Mantan Sekjen PBB Kofi Anan mengungkapkan, literasi adalah jembatan dari kesengsaraan kepada harapan. Ini adalah alat untuk kehidupan sehari-hari di masyarakat modern. Ini adalah benteng melawan kemiskinan dan blok bangunan pembangunan, pelengkap penting untuk investasi di jalan, bendungan, klinik dan pabrik. Literasi untuk membangun masyarakat.

Budayakan membaca. Jangan kalah dengan orang Amerika yang melahap 11-20 buku tiap tahun. Kontribusi membaca, berkali lipat mencerahkan isi kepala. Membaca ibarat memberi vitamin bagi otak.

Bagaimanapun, isi kepala menentukan perilaku dan karakter. Seperti kata bijak, beri tahu siapa kawanmu dan buku yang anda baca, maka saya dapat memberitahu siapa anda. Apresiasi bagi segenap pemberi pengetahuan di muka bumi, yang menghibahkan isi kepalanya untuk mencerahkan dunia. Tujuannya cukup mulia, agar otak manusia bercahaya dan masa depannya berkilau.

Exit mobile version