Kupang, Savanaparadise.com,- Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi perhatian banyak orang, karena kasus tersebut baru pertama terjadi di Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa negara kita negara hukum hanya sebagai kata penghiburan saja. Dua keputusan hukum inkra antara lain keputusan Mahkama Konstitusi (MK) dan Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Waekabubak. Mantan Ketua KPU SBD sebagai tergugat menerima seluruh keputusan PN dan tidak melakukan upaya banding sehingga menjadi kekuatan hukum tetap atau inkra, jelas pakar hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr. John Tubahelan, SH, MH, kepada SP di Kupang, Senin, (5/5).
John Tubahelan, mengatakan, Pengadilan Negeri Waikabubak memenangkan gugatan pasangan dr. Kornelis Kodi Mete – Drs. Daud Lende Umbu Moto atau Konco Ole Ate, sedangkan mantan anggota komisioner KPU SBD sebagai tergugat dinyatakan bersalah dengan mengvonis mantan Ketua KPU SBD, Johanes Bili Kii, 1,3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Tiga orang mantan anggota KPU SBD masih dalam proses sidang dan satu orang lagi masih menjadi buronan Polisi atau DPO, karena dengan sengaja lakukan pencurian suara milik Konco Ole Ate untuk memenangkan pasangan MDT-DT.
Pada gugatan sengketa pilkada di Mahkamah konstitusi (MK) malah menolak gugatan pasangan dr. Kornelis Kodi Mete – Drs. Daud Lende Umbu Moto atau Konco Ole Ate, sehingga menguntungkan pasangan Markus Dairo Talu, SH – Drs. Dara Tunggu Kaha atau (MDT-DT). “Kedua keputusan hukum Inkra tersebut Mendagri dan KPU harus melihat secara jernih serta profesonal. Karena kekuatan hukum tersebut sama,” kata John Tubahelan.
“Jika masyarakat tidak menerima keputusan Mendagri dan KPU, untuk melantik bupati dan wakil bupati SBD itu merupakan hal masuk akal. Sebab penerapan kedua putusan tersebut tidak adil. Negara hukum dipertanyakan. Keputusan MK dan PN Waekabubak sebagai Lembaga penegakan hukum di Indonesia dengan putusan sudah inkra, seakan-akan tidak memberikan rasa keadilan,” katanya.
Sebaiknya pemilihan ulang di dua kecamatan yang menjadi pokok persoalan tersebut. Kenapa Pileg kemarin bisa dilakukan ulang. Kenapa Pilkada SBD yang jelas-jelas menyalahi kenapa tidak dilakukan Pilkada ulang. Ada apa?. Kinerja KPU dipertanyakan dimana letak keadilan, tambah John Tubahelan.
Toko Masyarakat Sumba dan mantan Rektor Undana Kupang, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App, Sc. Ph.D, kepada SP di Kupang, mengatakan, Mendagri, Gumawan Fauzi, seharusnya melihat kasus Pilkada SBD secara arif, adil dan bijaksana. “Masyarakat SBD memegang kebenaran kasus itu. Jika pemerintah tidak memeberikan rasa damai dan keadilan kepada masyarakat sudah pasti akan timbul konflik berkepanjangan di daerah itu. Saya sangat mengetahui kultur budaya masyarakat Sumba,” kata Frans Umbu Datta.
“Jika Mendagri memaksa melantik pasangan MDT-DT, sudah pasti proses pembangunan lima tahun kedepan tidak akan berjalan dengan baik serta konflik dan tindakan kriminal marak terjadi di daerah itu,” kata Frans Umbu Datta.
Frans Umbu Datta, meminta agar jangan mempermalukan Mendagri dan Presiden, sebaiknya Pilkada SBD di ulang. Pihak KPU SBD menjadwalkan untuk pemilihan ulang kepala daerah. Cara tersebut lebih profesional dan adil untuk kedamaian masyarakat di Sumba Barat Daya.
“Bagaimana masyarakat SBD menerima Bupati dan wakil bupati dengan melakukan pencurian suara dari pasangan lain untuk memenangkan pasangan MDT-DT. Sudah pasti masyarakat akan menolak. Pilkada ulang jauh lebih baik dan beradab dari pada memaksakan kehendak dengan mengorbankan masyarakat di daerah itu,” jelas Frans Umbu Data.
Ketua DPRD SBD, Yoseph Malo Lende, mengatakan, kepada SP, bahwa sikap masyarakat di SBD sudah jelas seperti hasil sidang DPRD yang telah disampaikan kepada Mendagri secara tertulis bulan lalu.
“Penyampaian penolakan untuk melantik bupati dan wakil bupati SBD sesuai hasil sidang dewan ke Mendagri, Gumawan Fauzi sudah final. Kami tidak mau menerima bupati dan wakil bupati dengan cara yang tidak benar. Dengan mencuri suara masyarakat. Hal tersebut terbukti KPU SBD mengakui di persidangan di Pengadilan Negeri,” kata Yoseph Malo Lende.
Dari keputusan Mendagri yang tidak adil itu, masyarakat SBD melakukan tindakan anarkis yang terjadi seperti pembunuhan, pembakaran kantor milik negara, rumah warga termasuk rumah saya juga ikut dibakar. Masalah seperti itu Mendagri berada di Jakarta tidak pernah merasakan.
“Kami yang berada di daerah menjadi korban dari keputusan pemerintah pusat. Dua putusan hukum dengan kekuatan hukum tetap. Pemerintah pusat mengabaikan keputusan itu, masyarakat pasti marah,” kata Yoseph Malo Lende. (YK/SP).