Oleh: Agustinus Tetiro (Ketua Kelompok Studi “Ende Bergerak”)
Tatap muka gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Emanuel Melkiades Laka Lena bersama para pengawas sekolah, para kepala sekolah (kepsek), dan para ketua organisasi siswa intra sekolah (OSIS) se-kabupaten Ende di SMA Negeri I (Satu) Ende melahirkan sejumlah catatan tentang berbagai urgensi di dunia pendidikan dalam konteks NTT, khususnya kabupaten Ende. Salah satu yang mencolok adalah: kembalikan Ende sebagai kota pelajar dan kebudayaan.
Gubernur Melki Laka Lena langsung mengakui dari awal bahwa dirinya telah menerima banyak laporan tentang kondisi terkini dunia pendidikan NTT. Secara nasional, NTT berada pada posisi 35 dari 38 provinsi se-Indonesia. Kemampuan peserta didik dalam literasi dan numerasi turun drastis dibandingkan generasi sebelumnya.
“Bayangkan saja bahwa ditemukan di Kupang kalau ada mahasiswa tingkat skripsi belum bias lancer membaca dan menulis. Duh! Sungguh, dengan contoh ini: dunia pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Gubernur Laka Lena.
Gubernur Melki tidak ingin terkesan top-down. Beliau mempersilakan para ketua OSIS berbicara tentang kondisi para guru di sekolah masing-masing. Hal ini beralasan, karena dari laporan yang masuk disinyalir bahwa penyebab utama kondisi negatif tersebut datang dari rendahnya kualitas guru dan masih jauhnya kondisi kesejahteraan dari mereka yang berprofesi sebagai guru.
Seorang Ketua OSIS perempuan dari salah satu sekolah swasta di kota Ende berani bersuara bahwa masih banyak guru yang tidak menarik perhatian peserta didik selama proses belajar-mengajar. Para guru kurang terlihat membaca buku, tetapi sibuk mengirimkan sejumlah bahan yang diperoleh melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence/AC), Chat-GPT dan lain-lain. Menurut dia, gampang sekali untuk membedakan guru yang benar-benar pintar dan guru yang menyerahkan banyak hal pada Chat GPT.
Hal senada dengan redaksi kalimat berbeda diungkapkan ketua OSIS SMK Negeri 2 Ende yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada guru yang tidak pintar dan tidak ada murid yang bodoh. Yang ada adalah guru yang malas dan murid yang tidak mau tahu banyak hal.
Kedua hal ini kemudian diapresiasi Gubernur Melki Laka Lena dengan mengatakan, inilah saatnya menata ulang pendidikan menengah kita di NTT. “Dulu orang mengenal Ende mencolok dalam pendidikan menengah seperti SMP dan SMA/SMK. Kinilah saatnya, kita sama-sama menata,” ujar Gubernur Melki.
Belajar dari Sejarah
Bupati Ende, Yosef Benediktus Badeoda, kembali mengingatkan bahwa dalam lintasan sejarah, Ende terkenal dengan pendidikan menengahnya yang berkualitas. Akan tetapi, saat ini kualitas itu sedang menurun.
Pemerintah kabupaten (Pemkab) Ende akan membuka banyak ruang kompetisi bagi para murid SMP dan SMA ke depannya. Hal ini penting untuk menciptakan suasana persaingan yang sehat antar-peserta didik.
Pada gilirannya, hal ini juga akan bermuara pada salah satu program utama pemerintah provinsi (Pemprov) NTT: memperbanyak anak-anak NTT masuk sekolah-sekolah kedinasan, perguruan tinggi negeri (PTN), dan sekolah-sekolah sejenis.
Gubernur Melki langsung merespons dengan menyatakan bahwa modal historis-kultural Ende sebagai kota pelajar dan kebudayaan perlu dihidupkan lagi. Dinas terkait di Pemprov NTT dan Pemkab NTT perlu duduk bersama untuk mengeksekusi sejumlah hal.
Salah satu hal paling konkret bahwa, tahun depan, Pemprov NTT akan membangun 11 SMK berasrama di sejumlah kabupaten se-NTT sesuai dengan kebutuhan daerah setempat. Sebuah SMK Energi Baru Terbarukan akan dibangun di salah satu desa di wilayah kecamatan Ndona Timur atau di wilayah barat kecamatan Detusoko.
Hal ini untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda tentang energi yang berkelanjutan, terutama bagi mereka yang ingin berprofesi di bidang terkait. Lulusan SMK Energi Baru Terbarukan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada sejumlah lokasi kerja pemberdayaan energi bersih. Bagi yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, Universitas Nusa Cendana (Undana) sedang mempersiapkan diri untuk membuka program studi khusus untuk energi baru terbarukan.
“Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa di tengah keterbatasan zaman dulu, orang-orang tua kita yang sekolah di kota Ende ini bisa berprestasi. Kita juga tidak boleh banyak mengeluh. Mari semua pihak memberikan yang terbaik untuk membangun komunitas pendidikan yang baik dan relevan. Sejarah kota ini mengajarkan banyak hal,” harap Gubernur Melki.
Membangun Lingkungan, Membaca Zaman
Harapan Gubernur NTT dan Bupati Ende untuk kembali membangun Ende sebagai kota pelajar dan kebudayaan adalah hal yang tetap relevan. Terutama, di saat catatan data-data memperlihatkan kemerosotan kualitas pendidikan menengah kita di NTT.
Untuk mencapai harapan itu, pada kesempatan ini, saya ingin merekomendasikan dua hal. Pertama, bangun komunitas belajar dan lingkungan moral yang kondusif. Untuk membangun kembali Ende sebagai kota pelajar dan kebudayaan, Pemprov NTT dan Pemkab Ende perlu memastikan adanya komunitas-komunitas belajar dan lingkungan moral yang kondusif untuk menciptakan suasana sebagai kota pelajar.
Salah satu contoh adalah dengan memperbanyak jumlah peserta didik yang sebisa mungkin diasramakan secara baik. Asrama yang baik misalnya berbasis kelompok keagamaan tetapi yang bersifat inklusif-pluralis. Seorang anak non-Katolik boleh tinggal di asrama bruderan atau susteran.
Selain itu, jam belajar provinsi atau kota perlu juga dipertimbangkan lagi secara serius. Tujuannya agar masyarakat luas mengerti bahwa ada waktu-waktu tertentu setiap hari di kota Ende tensi keramaian bisa sedikit direm untuk melayani ‘kewajiban’ peserta didik dan masyarakat terdidik untuk belajar dan melakukan refleksi akademis.
Kita bisa menyebutkan sejumlah contoh dan saran lain untuk rekomendasi pertama ini!
Kedua, membaca tanda-tanda zaman di era digital. Kita tidak bisa lagi mengerem atau menolak perkembangan zaman di era digital ini. Masalah yang diangkat ketua OSIS perempuan di atas adalah masalah kita semua. Kita telah melemahkan daya ingat kita dengan menaruh dan percaya semua informasi dan pengetahuan ke dalam kuasa Chat GPT. Hasilnya, kita tidak pernah melatih dan mengoptimalkan fungsi otak untuk merekam dan menghafal sesuatu yang mungkin pada zaman dulu adalah latihan yang amat baik.
Perkembangan era digital perlu disikapi dengan bijak. Dalam hal ini, Pemprov NTT dan Pemkab Ende bisa mendorong sejumlah kegiatan dan kompetisi yang memungkinkan peserta didik dan generasi muda diajak untuk selalu merefleksikan perkembangan era digital secara seimbang. Misalnya, peserta didik perlu tahu bahwa AI dan Chat GPT banyak membantu untuk keperluan pembelajaran, akan tetapi membaca buku fisik atau e-book yang berkualitas juga merupakan sebuah kenikmatan akademik yang bisa membuat pembelajar lebih bisa menyiasati realitas hidup.
Membaca tanda-tanda zaman di era digital mungkin tidak selalu gampang, tetapi membiarkan anak-anak didik untuk tidak kritis terhadap perkembangan dunia digital adalah membiarkan masa depan kita pada kerumitan yang jauh lebih kompleks!
Mari kita bersama-sama bergandengan tangan membangun kembali Ende sebagai kota pelajar dan kebudayaan. Semoga