Site icon savanaparadise.com

Keunikan Kampung Adat Wologai

Gadis Wologai mengenakan busana lawo lambu saat mengikuti upacara adat Gawi (Foto: Istimewa)

Ende, Savanaparadise.com,- Kabupaten Ende boleh dibilang kabupaten yang paling fenomenal. Sebutan ini bukan isapan jempol semata. Setelah dijuluki sebagai kota rahimnya pancasila, banyak icon wisata yang ada di kebupaten Ende yang tak kala uniknya seperti daerah lain di kepulauan Flores.

Di sini ada beberapa objek wisata sejarah yang namanya cukup mentereng, bahkan mendunia seperti, Rumah Pengasingan Bung Karno, Taman Renungan Bung Karno. Adapula beberapa objek wisata budaya yang juga tak kala unik dengan objek wisata lainnya yang bikin hati wisatawan tergoda untuk berkunjung ke sana, sebut saja Kampung Adat Wologai.

Ya, Kampung Adat Wologai. Kendati jauh dari keramaian kota Ende, tapi tidak menghilangkan kepopulerannya di mata wisatawan.

Untuk pergi ke objek wisata yang satu ini, wisatawan dapat menggunakan kendaraan roda dua dan empat dengan waktu yang ditempuh 1 Jam, maklum jarak sekitar 42 KM.

Kampung Adat Wologai, berada di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores-NTT.

Wisatawan tak kesulitan menemukan kampung adat Wologai. Karena di depan pintu masuk tertulis “Selamat Datang Kampung Adat Wologai”.

Ketika sampai di pintu masuk, wisatawan akan berdecak kagum dengan tata letak batu alam yang tersusun rapih, sangat unik yang mencerminkan budaya masyarakat Wologai.

Sekitar 2 meter dari pintu masuk menuju rumah adat, terdapat pohon beringin yang sangat besar. Dan berdasarkan penuturan dari salah seorang tokoh masyarakat, Yohanes Resi, pohon beringin tersebut ditanam oleh leluhur mereka.

Yohanes menguraikan Wologai sendiri memiliki arti yakni “Wolo” (bukit) dan “Gai” (rumput) yang mengandung makna kedekatan sangat kuat pada alam dan berpegang teguh pada kebudayaan.

Kampung adat wologai ini di perkirakan sudah berusia 800 tahun (8 abad) dan merupakan kampung adat yang sudah sangat lama keberadaanya dan memiliki keunikan tersendiri.

Arsitektur bangunan rumah adat yang berbentuk kerucut menunjukan keunikan dari kampung adat wologai. Rumah-rumah adat Wologai di bangun secara melingkar dan ada tiga tingkatan di mana setiap tingkatannya di susun bebatuan ceper di atas tanah.

Di kampung adat wologai terdapat 18 rumah adat (sa’o ria) akan tetapi dari ke 18 buah rumah adat itu, ada rumah yang tidak memiliki acara adat atau ritual adat.

Mosalaki Wologai, Paulus Lengga menuturkan, rumah adat wologai (sa’o ria) merupakan rumah panggung yang di buat dari kayu beratapkan daun ilalang (ki) dan ijuk dari pohon Enau.

Tiap suku mempunyai bentuk bangunan rumah adat yang sama, namun memiliki ciri khas yang berbeda seperti ukiran yang ada pada tiang kayu bangunannya.

Menurut Paulus, sebelumnya atap rumah adat terbuat dari ijuk itu dilarang, atapnya harus terbuat dari alang-alang. Tetapi sekarang, tambah dia, sudah banyak yang menggunakan ijuk, sebab jika pakai alang-alang maksimal 3 tahun sekali atapnya harus diganti. Sementara kalau dengan menggunakan ijuk bisa bertahan puluhan tahun.

Mosalaki Paulus juga menuturkan rumah adat wologai terdapat 1 buah rumah bernama “Bale” yang berfungsi untuk menyimpan tulang belulang dari 7 generasi leluhur dan keda yang berfungsi sebagai tempat pertemuan para Kepala Suku (Mosalaki).

Uniknya di “Keda” ini perempuan tidak di perkenankan untuk mengikuti pertemuan tersebut. Selain itu adapula juga “tubu kanga” yang melambangkan persatuan masyarakat adat dengan sang pencipta.

Setiap rumah adat saling berhadapan, maksudnya untuk saling mendukung dan menjaga tempat sakral yaitu “Keda”, “Tubu Musu”, dan “Kanga”.

Tempat itu merupakan ruang sakral yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat di kampung adat Wologai di mana para leluhurnya di kubur mengelilingi “Keda”, “Kanga” dan “Tubu Musu”.

Keunikan lain juga dapat dilihat dari kehidupan masyarakat adat Wologai yang melaksanakan ritual dan upacara melalui wadah–wadah yang saling berhubungan dan mendukung dalam pemanfaatan ruang budaya dan ritual tersebut.

Upacara ritual adat yang masih asli dan terus menerus dilakukan oleh masyarakat adat Wologai adalah panen padi, jagung dan kacang-kacangan (Keti Uta) pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) pada bulan September.

Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana selama 7 hari masyarakat tidak menjalankan aktivitas hariannya.

Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktifitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lainnya.

Setelah melewati berbagai upacara, maka komunitas adat akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran di sekeliling Tubu Kanga sebagai simbol mengucap kegembiraan dan kebersamaan. (SP/Maria Rindiani Niksa Rue)

Exit mobile version