Site icon savanaparadise.com

Kembali ke GBHN Perlu Kajian Mendalam

Acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) Anggota MPR/DPD RI Drs. Ibrahim Agustinus Medah bersama kalangan pemuda dan mahasiswa di Aula Ahmad Dahlan, Kota Kupang, belum lama ini.

Kupang, Savanaparadise.com, Wacana untuk kembali menerapkan sistem GBHN di Indonesia perlu kajian mendalam dan komperehensif baik secara yuridis, sosiologis dan metodologis. Yang harus pula diperhitungkan adalah perubahan paradigma berpikir yang ikut merubah arena, wajah dan struktur politik.

Gagasan itu disampaikan DR. Frits Fanggidae yang tampil sebagai salah satu nara sumber dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Anggota MPR/DPD Drs. Ibrahim Agustinus Medah bersama kalangan pemuda dan mahasiswa di Aula Ahmad Dahlan, Kota Kupang, belum lama ini. RDP dengan topik

“Reformulasi Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Model GBHN”, diselenggarakan atas kerja sama DPD AMPI Provinsi NTT dengan Senator Drs. Ibrahim Agustinus Medah Belum lama ini d Kupang.

Dipaparkannya, dalam era Reformasi, demokrasi mulai terkondisi di berbagai lini kehidupan, sekalipun demokrasi yang dilahirkan di Indonesia abortus sehingga menjadi industri politik. Semua identitas yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang.

“Semua kelompok dari berbagai kalangan mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasi dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada,” katanya.

Dikataknnya, sistim perencanaan pembangunan nasional pasca reformasi ini melahirkan berbagai masalah diantaranya, Penyusunan dan pelaksanaan RPJMN dan RPJPN dipandang lemah, karena executive perspective, Terjadi inkonsistensi dan diskontinuitas pelaksanaan RPJMN dengan RPJPN karena pergantian Presiden 5 tahun sekali. Juga, RPJM Nasional tidak sinkron dengan Daerah, karena RPJM Daerah disusun menurut perspektif daerah.

“Ketika hampir 15 tahun sistim ini berjalan, banyak pihak menilai bahwa tanpa GBHN sebagai otoritas tertinggi yang mengarahkan pembangunan bangsa, membuat negara ini bukan lagi Negara kesatuan, tetapi Negara dengan multy government. Kekuasaan ada dimana-mana ( Pusat dan Daerah) yang dengan mudah dapat diselewengkan untuk kepentingan diri dan kelompok dalam bentuk tindak pidana korupsi dan lain-lain,” sebut dia.

Frits menambahkan, RPJM yang disusun dan dilaksanakan selama ini tidak menjawab secara komprehensif persoalan nasional yang dihadapi Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan konteks persaingan dan kemajuan negara-negara tetangga lainnya.

“Kita banyak mengalami kemunduran dalam pembangunan bangsa. Atas dasar itu, maka berbagai pihak mulai berpikir untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan untuk kepala negara (Presiden ) dalam menjalankan roda pemerintahan. Presiden tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya melaksanakan GBHN yang telah disusun,” katanya.

Dia menyebutkan, berbagai pihak banyak yang menyesalkan penghapusan tugas MPR dalam menentukan GBHN, karena tanpa GBHN pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan dan Indonesia tidak akan mampu menghadapi berbagai ancaman di masa depan. GBHN sebagai aset bangsa kembali diperhitungkan dalam perannya sebagai pagar kehidupan bangsa.

Hilangnya pagar kehidupan, kata dia telah membuat bangsa ini dengan mudah dijamah tangan-tangan asing, dimana visi pembangunan cenderung hanyut dalam hiruk pikuk kepentingan asing sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan. Maka itu, berbagai pihak meminta ruh dan jati diri pembangunan bangsa tetap berpijak pada aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang dituangkan dalam GBHN.

Ia menjelaskan, dalam sistim GBHN di era Orde Baru, tripolarisasi ekonomi ( BUMN, Koperasi dan Swasta) tidak tegak sama-sama kukuh, sehingga terjadi kepincangan sosial dalam berbagai aspeknya. Padahal tujuan pembangunan nasional dirumuskan dalam Trilogi Pembangunan yaitu Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas. “Penerapan kembali sistim GBHN memang sudah menjadi aspirasi, tapi perlu kajian yang seksama. Arena ,wajah dan struktur politik telah berubah. Sekarang ini perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep negara tidak mudah diatasi, karena paradigma berpikir terarah kepada kebebasan,” katanya.

Anggota MPR/DPD RI Drs. Ibrahim Agustinus Medah saat itu mengatakan, Ketiadaan GBHN merupakan konsekwensi logis dari pemilihan presiden secara langsung. Pasalnya, salah satu aspek penilaian terhadap calon presiden adalah visi atau rencana atau program yang ditawarkannya dalam upaya pemerintahannya mencapai cita-cita bangsa bernegara.

“Andaikata yang bersangkutan dapat memenangi pemilihan umum, maka tawaran tersebut harus dapat diwujudkannya pada masa jabatannya. Apabila tidak, maka yang bersangkutan akan dianggap gagal, akibatnya dia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat untuk jabatan berikutnya,” katanya.

Dijelaskannya, agenda pembangunan nasional sebagai pengganti GBHN yang merupkan “blue print” pembangunan, praktis didasarkan pada visi dan missi presiden terpilih yang kemudian dijabarkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun meski telah ditetapkan UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJMN 2005-2025, tidak ada jaminan kepastian terhadap implementasi UU tersebut.

“Bila hal ini terjadi dalam setiap lima tahun, maka pembangunan sangat sulit dilakukan secara berkesinambungan. Karena itu perlu semacam GBHN atau nama lain dengan esensi sama untuk menetapkan arah pembangunan nasiona sehingga pembangunan nasional tetap berada pada koridor cita-cita kemerdekaan,” jelasnya.

Dengan begitu, kata dia, fungsi dan peran MPR juga tidak hanya melantik dan memberhentikan presiden tetapi membuat dan menyosialisasikan GBHN di samping 4 pilar yang selama ini sudah disosialisasikan MPR. Namun demikian, kalaupun wacana GBHN dimunculkan kembali, terdapat berbagai kesulitan yang dihadapi diantaranya mengembalikan fungsi MPR sebagai pengatur GBHN sulit dilakukan karena kondisi politik saat ini menjadi salah satu penghalang penting terwujudnya kembali peran MPR itu.

“Kondisi politik menjadi ganjalan mengembalikan fungsi MPR sebagai pengatur GBHN. Posisi kekuasaan presiden dan koalisi partai pemenang pemilu saat ini tidak seperti kondisi pemerintahan masa Presiden Soekarno atau Presiden Soeharto. Sebab, posisi kekuatan koalisi pemenang pemilu lalu tidak jauh berbeda dengan koalisi oposisi, sehingga kekuatan politik yang ada sekarang tidak cukup kuat untuk mendukung terwujudnya wacana pengembalian GBHN,” katanya.(LTL/SP)

Exit mobile version