Kupang, Savanaparadise.com,– Garam kristal putih dari Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), kini jadi rebutan. Empat perusahaan besar nasional antre untuk mendapatkan pasokan dari daerah yang dijuluki Negeri Seribu Lontar ini karena kualitasnya diakui sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia.
Penasehat PT Nataga Raihawu Industri (NRI), Marthen Dira Tome, mengungkapkan hingga September 2025, permintaan garam dari Sabu Raijua melonjak tajam.
“Saat ini ada empat perusahaan yang sedang mencari garam dari Sabu Raijua. Kita berupaya memenuhi permintaan secara adil agar tidak ada yang pulang dengan tangan kosong,” katanya di Kupang, Selasa (17/9/2025).
Empat perusahaan tersebut adalah PT Cheetam, PT Susanti Mega (pemilik merek garam kapal), PT Garindo, dan PT Unichen. Data terbaru mencatat, PT Cheetam telah mengangkut 10 ribu ton garam, sementara PT Susanti Mega bersiap memuat 2 ribu ton. Sebelumnya, lebih dari 500 ton juga telah diberangkatkan melalui tol laut.
Menurut Marthen, tingginya permintaan bukan tanpa alasan. Garam dari Sabu Raijua diproduksi dengan teknologi geomembran yang menghasilkan kristal putih bersih dengan kadar Natrium Klorida (NaCl) mencapai 98%. Faktor iklim semi-arid, panas yang konsisten, angin stabil, dan air laut yang tidak tercemar menjadikan garam Sabu Raijua sangat istimewa.
Peluang besar ini juga terbuka karena Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 yang menutup keran impor garam. Langkah ini menandai komitmen pemerintah untuk mewujudkan swasembada garam tahun 2027. Dengan penutupan impor, kebutuhan nasional harus dipenuhi tambak-tambak dalam negeri.
Produktivitas lahan di Sabu Raijua disebut sangat mengesankan, mencapai 60 ton per hektar per bulan. Potensi ini menjadikan NTT sebagai salah satu penyumbang utama kebutuhan garam nasional.
“Ini bukan sekadar soal produksi, tetapi juga soal meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Dari pekerja tambak, sopir truk, buruh pelabuhan hingga pedagang kecil di dermaga ikut merasakan manfaatnya,” tambah Marthen.
Marthen menegaskan, garam bagi masyarakat Sabu Raijua bukan hanya komoditas ekonomi, melainkan simbol kehidupan.
“Panas matahari tidak boleh dilihat sebagai bencana, tetapi sebagai anugerah. Tuhan sudah kasih anugerah, maka kita tidak boleh menjual kemiskinan dengan alasan kesulitan,” tegasnya.(SP)