Site icon savanaparadise.com

Anton Doni: Perlu Ada Skema Bantuan untuk Cluster Mahasiswa Terdampak Covid-19

 

Jakarta, Savanaparadise.com,- Mahasiswa adalah salah satu cluster terdampak pandemi Covid-19 yang belum ditangani secara serius. Belum ada skema bantuan yang secara jelas ditujukan kepada mereka. Pemerintah diharapkan tidak tutup mata terhadap cluster terdampak yang kasat mata ini.

Skema bantuan sembako di perkotaan Jabodetabek yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) belum jelas apakah dapat menjangkau cluster mahasiswa terdampak Covid-19 yang merupakan mahasiswa perantauan.

Tentunya karena keterbatasan yang disebab oleh ketiadaan dukungan administrasi, sebab sebagian besar mahasiswa perantauan tidak memiliki KTP Jabodetabek.

Hal ini disampaikan oleh Tokoh Masyarakat asal Flores yang juga jebolan S2 Ekonomi Asian Social Institute Manila Antonius Doni Dihen melalui rilis yang dikirim ke SP, Senin, (4/5).

Bersama Garda NTT disaat melakukan aksi sosial yaitu pembagian sembako kepada Mahasiswa NTT se Jabotabek yang terdampak Covid-19, Anton Doni mengatakan, perhatian terhadap cluster terdampak ini harus dilakukan melalui bantuan sembako, maka perlu ada kebijakan afirmatif dari Pemda Jakarta atau Jabodetabek maupun Pemerintah Pusat untuk melonggarkan persyaratan administrasi untuk mahasiswa perantauan.

Menurut Anton, sendainya bantuan sembako tidak memungkinkan solusi lainnya adalah melalui jalan BLT Dana Desa. Bahkan Ia sudah berkirim surat kepada Menteri Desa, dan melakukan komunikasi whatsapp dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa.

Namun, demikian terkendala dengan definisi konvensional mereka tentang kewargaan desa dan regulasi bantuan yang ditujukan kepada keluarga miskin.

“saya pernah berkirim surat ke Mentri Desa, bahkan pernah juga berkomunikasi dengan Jendral Kementrian desa, namun katanya ada kendala dengan definisi konvensional mereka tentang kewargaan Desa dan regulasi bantuan yang ditujukan ke keluarga miskin, Tuturnya.

Ia juga mengatakan bahwa kewargaan desa haruslah dipahami lebih dari batasan kependudukan. Dan kalau kita lihat jiwa Undang-Undang Desa yang baru, warga Desa tidak harus sekadar dipahami sebagai mereka yang tinggal di Desa dan berKTP desa yang bersangkutan. Warga desa juga mencakup mereka yang merantau.

Menurutnya bahwa Pemerintah perlu melihat fakta keadaan desa secara lebih cermat dan dengan kesadaran akan keberagaman. Keluarga miskin di desa tidak hanya mereka yang bertahan hidup di desa. Dalam kasus sejumlah daerah di NTT, keluarga miskin di sana keluar dari desa dan merantau mencari pekerjaan dan penghasilan di luar desa. Keluarga miskin, bahkan termiskin itu, yang merantau di luar desa dan di luar negeri, kemudian mau menyelamatkan masa depan mereka dengan menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Karena itu, adalah salah jika Pemerintah melihat bahwa anak-anak yang kuliah di kota besar adalah mereka yang bukan berasal dari keluarga miskin di desa.

Menurutnya, Karena itu jika kategori keluarga miskin yang berhak menerima BLT Dana Desa dapat didefinisikan sedemikian rupa untuk menjangkau keluarga miskin di desa yang sedang merantau ke luar negeri dan atau anak-anak desa yang sedang merantau kuliah dan mengalami kesulitan hidup, maka BLT Dana Desa dapat merupakan jalur pengaman sosial yang dapat diandalkan.

Anton juga menegaskan bahwa seharusnya Desa merupakan jalur pengaman sosial paling efektif dan terkelola untuk mahasiswa perantauan yang terdampak pandemi Covid 19. Karena di desa dapat dilihat mana mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dan mana yang bukan. Mana mahasiswa dengan orang tua atau anggota keluarga penopang pendidikan mereka di perantauan yang sedang jatuh miskin karena PHK atau diistirahatkan sementara dan mana yang tidak.

Lanjutnya, semuanya dapat diklarifikasi melalui mekanisme musyawarah desa. Pemerintah tingkat atas seperti Pemda atau Kementerian Desa dapat memfasilitasi kebijakan dengan tujuan ini. Dan kalau Pemda dan Kemendesa sedang mati gaya tanpa kreativitas kebijakan, maka Presiden perlu turun tangan untuk.mendorong adanya perhatian ke sana. Sektor terdampak mahasiswa perantauan tidak boleh diabaikan.

Tawaran berikutnya menurut Anton, yang minimalis adalah bantuan Pemda. Sebab sudah ada beberapa Pemda, baik Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten yang mengambil langkah belas kasih. Langkah itu ada yang sudah direalisir dan ada yang barus sebatas dijanjikan. Tentu ada prinsip kehati-hatian di sana. Tetapi sekaligus harus dikatakan bahwa prinsip kehati-hatian berlebihan sampai terlalu lama menunda dan bahkan meniadakan bantuan adalah sesuatu yang tidak wajar. Jumlah bantuan itu tidak besar.

“yang minimalis adalah bantuan Pemda, sebab sudah beberapa Pemda, baik Pemda Provinsi maupun Pemda Kabupaten yang mengambil langkah belas kasih, Ungkapnya.

Dalam kasus NTT, kemungkinan mahasiswa perantauan yang mengalami kesulitan finansial di musim pandemi ini per kabupaten tidak sampai 1000 orang. Jika satu orang mahasiswa dapat didukung dengan Rp. 200.000 per bulan, maka anggaran untuk urusan ini tidak besar. Kebanyakan kabupaten jumlah mahasiswa terdampak mungkin jauh di bawah angka 1000 orang. Karena itu, dukungan anggaran selama 3 bulan saja masih jauh di bawah angka Rp. 1 milyar.

Dalam kasus mahasiswa NTT, harus dikatakan bahwa kita sedang berterima kasih kepada Kementerian Sosial yang mungkin akan memberikan bantuan sembako untuk mahasiswa se-Jabodetabek. Bantuan ini tentu didukung oleh kerja para relawan Garda NTT yang menyampaikan permohonan dengan dukungan data yang kuat. Garda NTT bahkan sudah berjalan dengan sejumlah usaha dan penyaluran bantuan melalui usaha-usaha mandiri mereka. Dan ini merupakan kredibilitas yang tidak boleh dianggap enteng, Imbunya.

Mahasiswa dari sejumlah daerah semacam NTT memang patut mendapat perhatian khusus. Data makro tentang kemiskinan dan tingkat pendapatan daerah sudah bisa dijadikan pegangan. Jika Papua dan Papua Barat sebagai provinsi termiskin pertama dan kedua memiliki dana otonomi khusus dan dengan peredaran uang di lingkungan mahasiswa yang lebih baik, NTT sebagai provinsi termiskin ketiga tidak memiliki keistimewaan tersebut. Dan karena itu memiliki kerentanan tertinggi.

Di juga mengatakan bahwa Musim pandemi Covid 19 adalah momentum solidaritas. Yang harus diungkapkan dalam kebijakan yang empatetik. Kebijakan yang berangkat dari pemahaman yang cermat atas keadaan-keadaan nyata di lapangan, yang mungkin berbeda antar daerah, yang mungkin tidak terlihat dari bacaan sepintas kita terhadap angka-angka statistik. Mata hati dan mata ilmu pengetahuan lain di luar statistik dapat membantu kita melihatnya.(Chen02)

Exit mobile version